Pages

Thursday 19 June 2014

Bale Gading dalam Upacara Potong Gigi ( Mepandes )

BAB I
PENDAHULUAN


1. 1 Latar Belakang
Bambu pada umumnya telah dikenal masyarakat luas. Bambu merupakan produk hasil hutan non kayu yang telah dikenal bahkan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat umum karena pertumbuhannya ada di sekeliling kehidupan masyarakat. Orang Perancis menyebutnya sebagai “Giant grass” (si rumput raksasa). Rumput raksasa ini tersebar luas di bumi pertiwi ini. Bambu banyak digunakan masyarakat dalam memenuhi kehidupan sehari-hari meliputi kebutuhan pangan, rumah tangga, kerajinan, konstruksi dan adat istiadat. Bambu memiliki multi fungsi pemanfaatan sebagai bahan makanan untuk manusia (Rebung), binatang (pucuk daun muda), kebutuhan rumah tangga dan aneka kerajinan dengan berbagai tujuan penggunaan mulai dari cinderamata, mebel, tas, topi, kotak serba guna hingga alat musik serta konstruksi untuk pembuatan jembatan, aneka sekat, konstruksi rumah meliputi tiang, dinding, atap dan kebutuhan adat istiadat. Bambu digunakan dalam upacara adat Hindu dan Budha diantaranya untuk upacara kremasi jenazah dan upacara Manusa Yadnya (Dinas Kehutanan, 2008).
Bagi masyarakat Cina, bambu dianggap sebagai salah satu jenis tumbuhan mulia. Ratusan tahun yang lalu, seorang penyair Cina terkenal, Pou-Sou-Tung, mengungkapkan bahwa suatu makanan harus memiliki daging, sedangkan rumah harus memiliki bambu. Tanpa daging kita bisa kurus, sedangkan tanpa bambu kita bisa kehilangan ketentraman dan kebudayaan. Suatu ungkapan yang mengagungkan tumbuhan bambu, karena begitu pentingnya fungsi bambu bagi kehidupan masyarakat Cina (Kompas, 2006).
Di Indonesia sendiri bambu paling banyak dibudidayakan di pulau-pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Bambu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Hindu di Bali untuk keperluan dan kelengkapan upakara-upakara dalam upacara yadnya. Berbagai jenis bambu dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap dalam upacara yadnya. Terdapat satu jenis bambu yang digunakan dalam upacara Manusa Yadnya yaitu bambu kuning atau dikenal juga dengan tiying gading oleh masyarakat Hindu di Bali (LIPI, 1977).
Pemanfaatannya Bambu kuning atau tiying gading dalam upacara keagamaan di Bali tidaklah sebanyak bambu-bambu lain seperti bambu tali, bambu betung, dan bambu ater, sehingga pembudidayaan terhadap bambu kuning ini pun tidak sebanyak jenis bambu yang lain. Namun meskipun demikian tiying gading ini tetap ditanam dibeberapa pekarangan rumah penduduk di Bali. Selain memiliki nilai estetis yang tinggi karena dapat dijadikan tanaman hias, bambu kuning juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan berbagai perangkat upacara keagamaan oleh umat Hindu. Penulisan mengenai perangkat upacara dalam ajaran agama Hindu, sangatlah sulit dibayangkan, di samping itu mengenai sumber-sumber sastranyapun sangat sulit didapatkan dan termasuk langka. Perangkat upacara itu sesungguhnya adalah merupakan kebudayaan Hindu, sepantasnya harus dilestarikan, karena perangkat tersebut merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang diimplementasikan secara nyata dan tergolong dalam upacara/ upakara dari kerangka agama Hindu. Di samping itu perangkat-perangkat tersebut menjadi atribut-atribut atau simbol-simbol yang memiliki makna keagamaan yang telah membudaya dari sejak dahulu kala sampai sekarang, yang patut dipertahankan. Untuk mempertahankan ini melalui satu cara yaitu mengungkapkan maknanya ke dalam satu tulisan agar bisa dipakai sebagai bahan informasi dan menjadi dasar penghayatan dari semua lapisan umat Hindu untuk diamalkan secara benar (Sudarsana, 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini peneliti ingin mengungkapkan pemanfaatan tanaman bambu kuning yang dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Hindu yang ada di Bali sebagai kelengkapan pada upacara-upacara yadnya yang ada di Bali khususnya pada pembuatan bale gading dalam Manusa Yadnya terutama dalam Upacara Potong Gigi (Mepandes).




1. 2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Taksonomi dan Morfologi Bambu Gading ?
1.2.2. Apa Pengertian Bale Gading ?
1.2.3. Bagaimana peranan Bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading ?
1.2.4. Bagaimana Fungsi Bale Gading dalam upacara Potong Gigi ?
1.2.5. Bagaimana Mitologi Bale Gading ?


1. 3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui Taksonomi dan Morfologi Bambu Kuning.
1.3.2. Untuk mengetahui Pengertian Bale Gading.
1.3.3. Untuk mengetahui peranan Bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading.
1.3.4. Untuk mengetahui fungsi Bale Gading dalam upacara potong gigi.
1.3.5. Untuk Mengetahui Mitologi Bale Gading.

1. 4 Manfaat
1.4.1 Diharapkan dapat lebih membuka pemikiran masyarakat tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes)
1.4.2 Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan pedoman dalam mata kuliah etnobotani.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Taksonomi dan Morfologi Bambu Kuning
Bambu kuning merupakan tumbuhan yang berasal dari Dunia Lama, khususnya dari kawasan Asia tropis. Jenis ini diyakini sebagai bambu yang paling banyak dibudidayakan di seluruh penjuru kawasan tropis dan subtropis. Dikawasan Asia Tenggara, bambu jenis ini banyak dibudidayakan dan kadang tumbuh dimana saja. Di Indonesia bambu ini banyak terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi (LIPI, 1977). Bambusa vulgaris Schrad ini memiliki 2 varietas yaitu yang hijau dan yang kuning. Kedua varietas ini memiliki nama daerah masing-masing, varietas yang hijau secara umum di Indonesia disebut bambu ampel; pring amper, aor, haor di Jawa; awi ampel, aor, haor untuk di Sunda; gurung di Manggarai; guru di Bajawa; oo todo di Bima; au dian di Tetun. Sedangkan varietas yang kuning di Indonesia sering disebut bambu kuning; pring kuning di Jawa; awi koneng, haor koneng di Sunda; oo muncar dio Bima;dan tiying gading di Bali (Widjaja, 2001 ).
Habitat tumbuhnya di daerah yang sangat kering dan lembab dan dapat tumbuh pula pada daerah yang tergenang air 2-3 bulan (Widjaja, 2001). Bambu kuning sangat mudah beradaptasi di tanah marjinal atau di sepanjang sungai, tanah genangan, pH optimal 5-6,5, serta di daerah-daerah pada ketinggian 1200 m dpl (meter diatas permukaan laut), paling baik pada dataran rendah. Oleh karenanya jenis ini tidak jarang dijumpai di pematang sawah. Jika bambu kuning dipotong dengan mudah dapat tumbuh kembali. Perbanyakan bambu dapat dilakukan dengan menggunakan rhizoma, stek cabang atau batang, cangkok dan kultur jaringan. Dan cara penanaman yang paling baik ialah dengan rimpangnya. Buluh bambu ini sangat kuat namun demikian jenis bambu ini tidak tahan terhadap serangan serangga pengerek batang. Bambu kuning memiliki rumpun simpodial tidak rapat dan tidak teratur serta tumbuh tegak (Soedjono, 1991).
2.2.  Pengertian Bale Gading
Bale gading terdiri dari dua kata, yaitu “Bale” dan “Gading”, ‘Bale’ merupakan suatu kata yang diucapkan untuk menunjukkan suatu bangunan yang dibuat oleh manusia sebagai tempat sesuatu sesuai dengan fungsinya, sedangkan ‘Gading’ dapat diartikan menjadi dua yaitu; gading yang menunjukkan taring daripada gajah, dan gading yang menunjukkan tentang warna kuning. Bale gading ini dibuat dari bambu kuning dengan bentuk segi empat bujur sangkar memiliki atap, menyerupai bangunan biasa dan bale ini dihias serba kuning dengan bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya seperti pengider-ider, pajengan dibuat dengan warna serba kuning, memiliki pintu sehingga kelihatan seperti bangunan emas. Bale gading memiliki saka (tiang sebanyak empat buah. Pembuatan bale gading disesuaikan dengan lontar yang ada yaitu dengan perhitungan asta kosala kosali (tata aturan membuat bangunan Hindu) biasanya pembuatnnya dilakukan oleh seorang Wenagi (tukang membuata bangunan Pura) namun tidak menutup kemungkinan juga dibuat oleh orang biasa namun telah mengetahui cara-cara pembuatan bale gading. Di dalam bale ini diisi suatu upakara kecil (Sudarsana, 2000).
Dalam hal ini gading yang dimaksud bukanlah gading gajah, namun gading dalam ajaran agama Hindu yang merupakan jenis warna sebagai lambang kesucian yaitu warna kuning. Bale gading adalah bale yang berwarna kuning, ditambah lagi dengan bahan-bahan dan cara pembuatannya dengan menggunakan bahan serba kuning (gading). Bangunan ini bukan tempat manusia, melainkan adalah untuk tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi, dalam wujud-Nya Sang Hyang Semara Ratih, maka dari itu bangunan ini dibuat kecil (Raka, 1984).

2.3.Peranan Bambu Kuning Dalam Pembuatan Bale Gading
Dalam pembuatan bale gading material yang dimanfaatkan adalah bambu kuning. Bahan ini tidak dapat digantikan dengan bahan lain karena dalam hal ini bambu kuning memliki makna dan peranan yang sangat penting. Menurut bahasa sansekerta. Tihing gading itu berasal dari kata ”pring” yang artinya api dan api artinya cahaya dan gading itu mengandung makna amerta yang juga disebut keindahan, jadi bambu kuning adalah api keindahan. Jadi secara lebih jelasnya tiying/bambu gading ini adalah merupakan simbol dari Dewa Keindahan. Dalam lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah.
Di dalam ajaran agama Hindu juga telah dikenal adanya dua jenis warna sebagai lambang kesucian, yaitu warna putih dan kuning. Dimana warna putih adalah lambang kesucian yang menyatakan suatu kondisi yang bebas dari segala ikatan keduniawian dan netral, sedangkan warna kuning juga merupakan lambang kesucian namun lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti: keagungan, kemakmuran, kewibawaan, kemuliaan serta kesempurnaan (Lontar Taru Pramana).
Oleh karena demikian pemakaian warna kuning lebih mengutamakan pada hal-hal yang bersifat penyucian yang masih dilekati oleh unsur-unsur keduniawian (Raka, 1984).

2.7 Fungsi Bale Gading Dalam Upacara Potong Gigi
Pada dasarnya upacara tidak dapat dipisahkan dengan upakara (bebanten) baik besar maupun kecil sesuai dengan keadaan. Pembersihan lahir bathin manusia selama hidupnya dianggap perlu, agar seseorang dapat menerima petunjuk-petunjuk yang baik dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga selama hidupnya tidak menempuh jalan yang sesat, melainkan dapat berpikir, berkata, dan berbuat yang benar, sehingga dapat memperbaiki karmanya dan akhirnya setelah meninggal rokhnya (atmanya) telah menjadi bersih (suci) serta wajar bersatu dengan Tuhan (Brahman) (Raka, 1984).
Dalam upacara Yadnya kita kenal adanya tingkatan-tingkatan upacara seperti: nista, madya dan utama yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan dari bahan atau materi yang tersedia. Seperti diketahui bahwa nista, madya dan utama itu hanyalah semata-mata untuk menunjukkan jumlah materi atau upakara di dalam suatu yadnya, namun dalam makna yang sama. Nista sendiri berarti inti atau pokok bukan berarti hina, sebab dalam Yadnya landasannya adalah ketulusan dan kesucian hati nurani. Bila dilandasi ketulusan hati walaupun kecil upacara yang kita persembahkan niscaya besar pahala yang akan diterima namun sebaliknya Yadnya yang besar bila tidak dilandasi hati yang suci akan sia-sia belaka (Purwita, 1992).
Diantara sekian jenis upacara Manusa Yadnya yang menggunakan bale gading sebagai sarana upakaranya antara lain Upacara Potong Gigi (Mepandes).
Di dalam upacara Potong gigi, pemujaan dilakukan kepada Dewa Kama (Sanghyang Semara) yang merupakan sebagai lambang cinta kasih, ataupun keindahan. Sebenarnya “Semara Ratih” merupakan salah satu nama untuk menyebutkan Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud Ardanareswari. Dewa Kama (Sanghyang Semara) dengan sakti-Nya Dewi Ratih berada di atas teratai bersenjata busur (panah), berwarna kuning keemasan memberi sukses dalam segala usaha, membasmi penyakit, mengusir kejahatan namun yang paling utama adalah member cinta dan kasih (Mas Putra, 1987).
Dalam upacara potong gigi beliau dipuja serta dibuatkan stana beratapkan bunga-bunga berwarna kuning demikian pula bahan bangunannya dari bambu gading (bambu kuning) dan perlengkapan lainnya berwarna kuning, yaitu sebuah “bale gading” (Mas Putra, 1987). Mengingat bahwa warna kuning merupakan lambang kesucian dan cinta kasih namun yang masih berkaitan dengan keduniawian, demikian pula Sang Hyang Semara Ratih.Bale gading tersebut merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam wujud sinar suci-Nya yang abadi yaitu Sang Hyang Semara Ratih. Bale gading juga merupakan suatu simbolik bagi seseorang mulai memasuki tingkat remaja atau dewasa. Warna gading (kuning) adalah simbolik daripada muda atau remaja. Dalam upacara potong gigi lebih banyak ditekankan dan mengandung penuh pengharapan agar manusia dapat mengurangi nafsu-nafsu jahatnya (Sad Ripu) sehingga dapat bertindak sewajarnya. Ngayab bale gading: bale gading merupakan suatu simbolik bagi seseorang mulai memasuki tingkat remaja atau dewasa. Warna gading (kuning) adalah simbolik daripada muda atau remaja. Sedangkan ngayab bale gading bermakna memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada mereka yang sedang menghadapi kegoncangan batin karena dilanda oleh pancaroba yang dapat menimbulkan krisis dalam kejiwaan (krisis rite). Dengan melakukan upacara ini Bhatara Semara dan Bhatari Ratih akan memberikan kekuatan lahir dan batin untuk dapat melewati masa krisis itu dengan selamat. Penggunaan bale gading pada upacara potong gigi dilaksanakan baik pada tingkat nista, madya maupun utama (Purwita, 1992). Bale gading hanya merupakan pelegkap upakara dalam upacara ptong gigi (mepandes) tidak dipergunakan dalam upacara yadya yang lainnya. Sering kali upacara potong gigi ini pelaksanaannya disertakan pada beberapa rentetan upacara yadnya lainnya seperti memukur pada pitra yadnya, menek kelih dan pernikahan (pewiwahan) pada upacara manusa yadnya.
Adapun bale gading merupakan linggih dari (sthana) Sanghyang Semara Ratih, dimana di dalam Lontar Dewa Tattwa disebutkan bale gading dilengkapi dengan upakara “Rajah Ratih Candra” dan untuk lebih jelasnya mengenai bale gading sebagai linggih (stana) dari Sanghyang Semara Ratih. “ Kramaning banten bale gading, misi suci asoroh, mewak itik ginuling, nasi kuning atebog, mewak itik putih mebe kakak, kunang sekarnya, sekar sekasti, kedapan naga sari, gadung, sekar cepaka warangan, Rajah Ratuh Candra” Pengertian Ratih Candra pada kutipan diatas adalah menunjukkan nama dari salah satu Dewa yaitu Dewa kecantikan (kebagusan), yang menurut kepercayaan agama Hindu di sering dipersonifikasikan dengan bulan, sebagai lambang Dewa kecantikan (kebagusan). Mengingat Rajah Ratih Candra merupakan lambang atau simbul dari Dewa kecantikan (kebagusan) dalam wujud cinta kasih-Nya dari Ida Sanghayng Widhi Wasa (Tuhan) selanjutnya Rajah Ratih Candra tersebut ditempatkan bale gading, maka bale gading merupakan linggih (stana) dari Sang Hyang Semara Ratih (Lontar Dewa Tattwa).


2.8. Mitologi-mitologi yang terkandung Dalam Bale Gading
Diceritakan terbakarnya Sanghyang Semara dan Dewi Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Siwa karena berani menggoda beliau pada saat Bhatara Siwa sedang bersemadi. Diceritakanlah bahwa sorga sedang diserang oleh raksasa Nilarudraka, seorang raksasa yang sakti ingin menguasai sorga. Para dewa-dewa semuanya kalah tidak ada yang sanggup melawannya.
Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah. Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya. Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.
Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.
Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama. Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.
Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa. Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih. Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga. Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.
Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia. Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya. Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
(Lontar Cudamani II, hal 15)
Sebagaimana diketahui Dewa Kama sering digambarkan sebagai Dewa Cinta ataupun Dewa Asmara. Cinta adalah manifestasi dari keinginan, dengan cinta maka dunia ini digerakkan, tidak ada suatu gerakan akan terjadi kalau tidak karena dorongan keinginan (cinta).Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.
Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).
Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.
Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam. Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.
Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.
Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu.Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.(Lontar Cudamani II, hal 15). Kutipan cerita tersebut adalah merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.












BAB III
PENUTUP


5.1Simpulan
Bambu kuning (gading) memiliki peranan yang amat penting dalam pembuatan Bale Gading karena warna kuning (gading) dalam mitologi Hindu merupakan lambang Keindahan, kecantikan, kesucian, kewibawaan serta keremajaan. Selain itu bambu kuning (gading) berasal dari kata ”pring” yang artinya api (cahaya) dan gading (kuning) yang bermakna ”amerta” (keindahan), jadi bambu kuning merupakan api keindahan dan tiying gading (bambu kuning) ini merupakan simbol dari Dewa Keindahan dimana seperti yang disebutkan dalam Lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan dan memperoleh kesucian hati. Oleh karenanya dalam upacara potong gigi diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih (Sang Hyang Semara Ratih), maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
Bale Gading merupakan sebuah bangunan yang berwarna kuning yang terbuat dari bambu kuning (bambu gading) yang memiliki empat buah sake (tiang) dengan bentuk persegi empat bujur sangkar dan memiliki atap, menyerupai bangunan biasa dan bale ini dihias serba kuning dengan bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya serba bewarna kuning sehingga berbentuk seperti bangunan emas. Bale gading dalam upacara potong gigi berperan sebagai salah satu kelengkapan upakara yang mana merupakan Stana dari Sang Hyang Semara Ratih dimana Beliau merupakan Dewa Kecantikan dan Kemuliaan yang nantinya diharapkan bagi yang akan potong gigi mengikuti sifat dari Sang Hyang Semara Ratih tersebut. Pada bale gading terdapat beberapa upakara sebagai pelengkapnya antara lain : banten pejati yang terdiri dari peras, daksina dan ajuman; nyuh gading (kelapa gading) yang telah dikasturi; banten suci; canang sari dan ponjen.

3.2 Saran
3.2.1 Karena manfaat dan kegunaan dari bambu kuning sangat besar bagi kebutuhan adat istiadat serta upacara keagamaan khususnya upacara yadnya masyarakat Hindu pada umumnya dan Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung pada khususnya, maka diharapkan agar masyarakat membudidayakan tanaman bambu kuning di pekarangan rumahnya masing – masing untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
3.2.2 Diharapkan agar masyarakat lebih membuka pemikiran tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes).
3.2.3 Penelitian ini dapat digunakan dalam proses belajar mengajar biologi khususnya dalam kajian etnobotani disamping itu juga dapat digunakan dalam kegiatan mengajar untuk mata pelajaran agama Hindu.


thank To : http://gadingrazta.blogspot.com/2008/09/pembuatan-bale-gading-dengan.html

No comments:

Post a Comment