SUSILA
SUSILA
DALAM AGAMA HINDU
OLEH
:
I
Wayan Mogog Artha
PENDIDIKAN
AGAMA HINDU
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Agama
memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi
pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan
bermartabat. Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia
maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah
keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan
keluarga, di lembaga pendidikan formal maupun nonformal serta masyarakat.
Pendidikan
Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan
potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai
perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spritual mencakup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif
kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan
pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Ajaran
agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka
dasar, di mana bagian yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu
kesatuan yang bulat, sehingga dapat dihayati, dan diamalkan untuk mencapai
tujuan yang disebut Moksa. Tiga kerangka dasarnya, yaitu: (1) tattwa, (2)
susila, dan (3) upacara. Ketiganya secara sistematik merupakan satu kesatuan
yang saling memberi fungsi atas sistem agama Hindu secara keseluruhan. Dalam
paper ini akan menjelaskan tentang susila.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Susila
Dalam Agama Hindu
Susila
dalam Agama Hindu merupakan kerangka dasar yg kedua . susiala adalah istilah
lain dari etika dan moral . etika dan moral merupakan dua kata yang di
pergunakan silih berganti untuk maksud yg sama . berdasarkan uraian di
atas dapat kita pahami bahwa etika merupakan ajaran prilaku atau
perbuatan yang bersifat sitematis tentang prilaku (karma). Apa yang di anggap
sebagai perbuatan baik (subha karma / daiwi sampad ) dan perbuatan yang tidak
baik ( asubha karma/Asuri sampad).pengertian susila dapat di jelaskan
sebagai berikut :
A.
Susila atau etika adalah upaya mencari
kebenran . sebagai filsafat ia mencari informasi yang sedalam-dalamnya secara
sitematis tentang kebenran yang bersifat absolut maupun relative .
B.
Susila atau etika adalah upaya untuk
megadakan penyelidikan atau megkaji kebaikan manusia , sebagai bagaimana
seharunya hidupdan bertindak di dunia ini agar hidup menjadi bermakana.
C.
Susila atau etika merupakan upaya (karma)
manusia mempergunakan keterampilan fisiknya (angga/raga)dan cerdas rohani
(suksma sarira) manusia terdiri atas pikiran (manas), kecerdasan (buddhi) .dan
kesadaran murni (atman) yang dapat berfungsi sebagai saranauntuk memecahkan
berbagai masalah tentang bagaimana manusia hidup dan berbbuat baik
(saputra). Kitap sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut : manusah
sarvabhutesu varttate vaiu saubhasuhe,asubhasue samasvitam subhesveva
vakyaret. Ri sakiwang srwa bhuta,ikingjanma wwang juga wenang gumayana kening
subha –subhakarma iking janma, kuneng akena ring subhakarna juga
ikang asubha karma phalaning dadi wwang
(sarasamuscaya, 2)
Artinya
:
Dari
sedemikian banyaknya semua mahkluk yang hidup , yang di lahirkan sebagai
manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan yang baik –buruk itu adapun untuk
peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya menjadi
manusia .
Demikianlah
manfaat hidup menjadi manusia sebagai di sebutkan dalam kitab suci Weda.
manusia hendaknya selalu mengupayakan prilaku yang baik dengan sesamanya
memperlakukan orang dengan baik sesungguhnaya adalah sama dengan memperlakukan
diri sendiri dengan baik juga (tatwam asi) prilaku seperti itu patut di
upayakan harus di lestarikan dalam setiap tindakan kita sebagai manusia setiap
induvidu hendaknya berfikir dan bersifat professional menurut guna dan karma .
inilah cermin dari sosok orang yg telah mengamalkan ajaran catur warna .
2.2.Hubungan
Susila Dan Sad Atatayi
Pada adasarnya setiap kelahiran manusia kea lam ini
adalah baik . hal ini terbukti dengan di berikan nya berbagai macam
predikat kepada manusia . sebagai manusia sebagai mahkluk inidividu, manusia sebagai
mahkluk berfikir . sebagai manusia mahkluk relegius , dan manusia sebagai
mahkluk sosial , serta masih bnyk lagi sebutan yang lainya .
Sebagai akibat dari kemampuan pikirnya , manusia dapat
meninggkatkan hidup dari kehidupan nya yang kurang baik menjadi lebih
baik . meskipun demikian , bukan berarti manusia akan terleppas dari perbuatan
–perbuatan yang tidak baik .dalam hindup dan kehidupan ini manusia di
hadapkan pada factor kemungkinan untuk memilih yang kurang baik agar
manusia tak terjerumus dan hanyut derita akibat dari tak terkendali kama
(keinginan) untuk merugikan orang lain , maka ia harus belajar dan di
ajarkan kebijaksanaan ,tuntunan berfikir , ketetapan hati dan sikap
sikap baik (Dharma) .dengan demikian manusia akan terhindar untuk melakukan sad
atatayi yang memang harus di hindari .
A. Pengertian
sad atatayi
Sad berarti enam dan atatyi bererti pembunuhan jadi sad
atatayi adalah berarti enam macam pembunuhan yang amat kejam/keji yang patut di
hindari dan tidak boleh dilakukan terhadapp siapa pun. Keenam pembunuhan yang
di maksud , yaitu pembunuhan secara sadis . perbuatan semacam ini
termasuk Himsa Karma . karena itu tergolong dosa memang betul-betul di larang
oleh sastra agama .
B. Bagian
– bagian sad atatayi
- Agenda artinya membakar
- Wisada artinya meracun
- Attharwa artinya ilmu hitam
- Sastraghana artinya mengamuk
- Drathi artinya memperkosa
- Raja pisuna artinya memfitnah
C. Uraian
Dari Sad Atatayi
- Aginda, yaitu membakar milik orang lain
/memusnahkan milik orang lain dan juga dapat di artikan mengadu domba
oranglain shingga timbul perselisihan yang mengakibatkan orang
menjadi menderita , ini perilaku atau perbuatan yang terlarang .
- Wisada , yaitu meracuni /menyakiti
orang lain . perbuatan meracun baik niskala maupun sekala . perbuatan ini
merupakan perbuatan dosa . hal ini mengingkari hakikat hidup dan
kehidupan dan kehidupan di dalam bermasyarakat di dunia fana
ini bagi orang yg melakukan /melaksanakan perbuatan seperti
ini sudah di sediakan tempat , yaitu neraka oleh Sang Hyang Widhi
Wasa .
- Atharawa, yaitu melakukan/menjalankan ilmu
hitam (black magic ) atau guna –guna . perbuatan ini merupakan
perbuatan dosa serta di jauhi orang yang suka yang terlarang
.menjalankan ilmu hitam atau guna-guna hanya bersifat senang
semantara semasa hidup ini dapat membuat orang lain menjadi
mendertia dan sesungghunya pula dirinya akan mendertita pula seperti
yang di deritakan orang lain .
- Sastraghana , yaitu mengamuk atau
merampok sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain . mengamuk yg
di maksudkan adalah bias-bilangkan nyawa orang lain dan merampok
menimbulkan penderitaan karena kerugian yang di deritanya . perbuatan
semacam ini amat bertentangan dengan sastra agama , untuk mencapai
ketenangan maupun kedamaian , maka perbuatan sastraghana amat di
larang dan berdosa besar serta terkutuk .
- Drathi Karma, yaitu memperkosa
kehormatan wanita . perbuatan drathi karma sangt bertentangan
dengan konsep ajaran agama hindu . di ajaran agama hindu memiliki konsep
tat twam asi. Karena itu ,perbuatan drathi karma mengingkari
kemerdekaan orang lain.
- Raja pisuna , yaitu memfitnah atau
menghasut dan mengadu domb a seseorang dengan orang lain. Perbuatan
memfitnah sangt lah keji karena membuat orang lain mederita. mungkin
orang yang memfitnah tidak tw sebab apa dirinya di perlakukan kurang baik.
memfitnah hendaknya di buang dari alam pikiran kita. maka di katakana
memfitnah lebih kejam dari pembunuhan.
2.3.Susila
Susila berasal dari bahasa Sansakerta, su dan sila. Su;
baik dan bagus, sedangkan sila; dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.
Dengan demikian, susila mengacu pada upaya membimbing, memandu, mengarahkan,
membiasakan masyarakat hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini
manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan.
Manusia yang susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya.
Apapun yang dilakukan oleh orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang
Widhi Wasa akan selalu menyertainya. Orang-orang di sekitarnya selalu hormat
dan menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada orang yang Susila maka
sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau kejahatan.
Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah
tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama
manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci
(Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan
menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula.
Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan.
2.4.
Hubungan Etika, Moral dan Susila Dengan Ahklak
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan
bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat
yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan
hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yaitu ketentuan yang
berdasarkan petunjuk Weda dan hadits. Dengan kata lain etika, moral dan susila
berasa dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
2.4.1. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Etika dalam arti yang khusus mencakup empat hal
sebagai berikut;
a.
Pertama,dilihat dari segi obyek
pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
b.
Kedua, dilihat dari segi
sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
c.
Ketiga, dilihat
dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan itu
dinilai baik atau buruk.
d.
Keempat, dilihat dari segi sifatnya etika
bersifat relatif yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
2.4.2. MORAL
Moral berasal dari bahasa Latin; mores, yang berarti
kebiasaan. Dalam makna istiah adalah suatu yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
2.4.3. SUSILA
Aspek-aspek inti agama hindu terdiri dari tiga bagian
yang di sebut tri kerangka agama hindu yaitu tatwa (filsafat), susila (etika)
,upacara (ritual) . ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang sangat erat
hubungannya satu dengan yang lain saling mengisi . jika diibiratkan
seperti sebutir telur upacara adalah kulit telor susila adalah
sebutir telor , dan tattwa adalah kuning telur . bagi salah satu
bagian ini tidak ada maka telur tersebut akan rusak.
2.4.4. AHKLAK
Dalam kehidupan, akhlak memegang peranan yang sangat
besar. Akhlak berhubungan erat dengan setiap perbuatan manusia yang diukur
dengan wahyu apakah suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk. Dalam
akhlak ada nilai dasar apakah perbuatan itu baik atau buruk. Akhlak mengandung
pengertian perbuatan yang timbul melalui sebuah ikhtiar dan kesengajaan.
Perbuatan itu meski diketahui waktu ia melakukan apa yang ia perbuat. Akhlak
pada dasarnya menjelaskan kata antara baik dan buruk. Dalam akhlak juga
menerangkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan manusia. Selanjutnya
akhlak juga membicarakan tentang jalan ataupun proses yang dilalui oleh manusia
untuk mencapai tujuannya.
Dalam kehidupan yang serba modern sekarang tentu banyak
kepentingan yang ada dalam anggota masyarakat. Mewujudkan masyarakat yang
harmonis memerlukan aturan-aturan yang bersifat universal yang dapat
dipertanggungjawabkan secara Ilahi dan kemanusiaan. Dengan kata lain, aturan
tersebut haruslah sesuai dengan tuntutan zaman yang ada dan sesuai dengan
akidah agama. Di sinilah letak urgensi pendidikan akhlak yaitu dalam merumuskan
pendidikan agar selalu berada dalam jalur yang benar dan selalu dalam orientasi
yang lebih baik. Selanjutnya dalam masa yang serba modern ini maka urgensi
pendidikan akhlak yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan masyarakat yang
madani.
Masyarakat modern tentunya mempunyai tantangan yang lebih
kompleks, untuk itulah pendidikan akhlak sangat penting dan diharapkan dapat
menjadi sarana pembentukan kepribadian manusia. Dengan demikian urgensi pertama
dan utama pendidikan akhlak adalah membentuk pribadi yang berakhlak. Pembentukan
pribadi yang berakhlak tidaklah terlepas dari tujuan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam itu sendiri bertujuan membentuk insan kamil yang tentunya
sifat dan sikapnya selalu mencerminkan pribadi muslim. Pembentukan pribadi
muslim yang berakhlak mencakup aspek jasmaniah dan ruhaniah. Keduanya merupakan
target pembentukan pribadi yang berakhlak.
Pengaruh modernisasi dan industrialisasi sebagai dampak
dari era globalisasi diharapkan dapat dinetralisasi dengan tetap mempertahankan
akhlakul karimah dalam kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat. Pendidikan
akhlak dalam era globalisasi sangatlah menentukan. Di saat pendidikan sekarang
ini yang semakin sekuler dan materialis sehingga nilai-nilai akhlak dan
moralitas bermasyarakat dalam erosi yang sangat besar. Manusia cenderung hanya
mengejar tuntutan materi saja dan hal ini membawa manusia pada situasi yang
dilematis, manusia telah kehilangan nilai kemanusiaan. Manusia telah menjadi
mesin kehidupan yang harganya bisa diukur dengan uang atau benda lainnya. Di
sini terlihat urgensi pendidikan akhlak agar manusia tidak kehilangan
kemanusiaannya dan selanjutnya terwujud sebuah masyarakat yang madani.
2.5. TRI
GUNA DAN DASA MALA
Ajaran agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat
komprehensif, dalam arti tidak saja mengurusi/mengajarkan bagaimana memuja Ida
Sang Hyang Widhi, tetapi juga berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia.
Inti ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang disebut Tri Kerangka
agama Hindu. Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri dari tattwa (filsafat),
susila (etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini merupakan satu jalinan
yang sangat erat hubungannya dan satu dengan yang lain saling isi-mengisi. Jika
diibaratkan seperti sebutir telur, upacara adalah kulit telur, susila adalah
putih telur, dan tattwa adalah kuning telur. Bila salah satu bagian ini tidak
ada atau rusak maka telur tersebut akan rusak. Begitu juga pengetahuan/tatwa
yang tinggi jika tidak diimbangi oleh etika yang memadai maka hidup ini tidak
akan harmonis.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup
sendiri, selalu ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dalam hidup bersama
ini diperlukan adanya suatu peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan ini.
Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku yang baik disebut tata susila.
Kata susila berasal dari
bahasa Sansekerta yang teridi dari kata “Su” artinya baik. Dan “Sila” artinya
tingkah laku. Jadi susila adalah tingkah laku yang baik. Di dalam kitab
Wraspati tattwa, 26 dinyatakan mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila
ngaranya angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian
perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.
Agama
adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat bangunan jika landasan
atau pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut akan mudah roboh.
Jika tata susila sudah dibangun atas dasar agama sebagai landasannya yang kokoh
dan kekal, maka tata susila itu akan mendalam dan meresap dalam pribadi
seseorang. Ajaran tata susila yang berdasarkan ajaran agama, seperti tertera
dalam kitab-kitab Upanisad atau Tattwa, menyatakan suatu dalil yang mengakui
tunggalnya Jiwatman(roh) semua makhul dengan Tuhan (Paramatma).
Dengan adanya ini maka kita akan merasakan suatu renungan kebijaksanaan yang
mendalam, bahwa kita sebenarnya adalah satu dan sama dengan makhluk lainnya.
Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal dan berada di
mana-mana yang menjadi dasar hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah dan beraneka
ragam macamnya. Begitulah Jiwatman dalam semua makhluk terpisah satu dengan
yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang pada dasarnya
dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula tunggalnya antara
Jiwatman seseorang dengan Jiwatman orang lain.
Jadi prinsip dasar dari susila Hindu adalah adanya satu
Atman yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk,
yang merupakan kesadaran murni. Bila kamu merugikan tetanggamu sebenarnya kamu
merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan makhluk hidup lainnya,
sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap alam tiada lain adalah
dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang merupakan dasar kebenaran
methapisik yang mendasari segala kode etik Hindu. Atman atau sang diri adalah
satu. Satu kehidupan bergetar dalam semua makhluk.
Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk hanyalah manusia. Karena di
antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang
paling sempurna karena memiliki Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Dengan idep
manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur
perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Menyadari hal tersebut maka janganlah
sia-siakan kesempatan lahir sebagai manusia untuk berbuat baik (susila), agar
tujuan kita lahir ke dunia bisa tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160
disebutkan sebagai berikut :
“Silam pradhanam puruse
tadyaseha pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila
ktikang pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan
ta prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika
kabeh, yan tan hana silayukti”.
Artinya
:
Susila
itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku
titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan
hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya
jika tidak ada kesusilaan.
Ajaran
susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia
inilah tempat kita berkarma.
Pembenahan
diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam
hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke
sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri
dalam kebijakan agar tidak jatuh ke neraca. Untuk dapat meningkatkan diri,
manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada
dirinya.
Tata susila membina watak
manusia agar menjadi anggota keluarga yang baik, anggota masyarakat yang baik,
anggota/putra bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkeperibadian mulia sehingga
mencapai kebahagiaan abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya
dapat dinikmati bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan
Ida Sang Hyang Widhi, karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida
Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh
perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan istilah anandha,
suka tanpa wali duka.
Pada
dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat
baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita
membagi kecenderungan budhi manusia menjadi dua bagian, yaitu :
- Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
- Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Daiwi
Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama
manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab
Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam
sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa
arjawam”.
Artinya :
Tidak
mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga,
berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci,
taat berpantang dan jujur.
“Tejahksama dhrtih saucam
adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.
Artinya :
Kuat,
suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan,
ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.
“Daiwi Sampad wimoksaya
nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.
Artinya :
Kelahiran
yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan
ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan
dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian
mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita
hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi
sebagai berikut :
“Tambho darpo bhimanas
krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Artinya :
Berpura-pura,
angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong
yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.
“Atma sambhawatah stabdha
dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Artinya :
Menganggap
dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan
kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran
kitab suci.
“Trivihdam narakasyedam
dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Artinya :
Ada
tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan
loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.
Oleh
karena itu, setiap perbuatan baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain, berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya
sendiri. Maka dari itu timbul suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat
Twam Asi berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau,
Engkaulah awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk. Hamba ini
adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan Prakertiku
tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah
Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah terscantum di
dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat
penting di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang
harmonis antara satu dengan yang lainnya. Ajaran susila ini hendaknya
diusahakan oleh setiap manusia.
Demikian harus kita sadari, betapa pentingnya ajaran tata
susila itu kita terapkan. Tata susila pada dasarnya bertujuan untuk membina
hubungan yang selaras / rukun antara seseorang (Jiwatman) dengan mahluk
lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara satu bangsa dengan bangsa
lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad dan Asuri sampad pada
diri manusia disebabkan oleh beberapa faktor, bisa faktor intern, bisa dari
faktor extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut. Berkaitan dengan
keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan kita untuk selalu menumbuh
kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.
2.5.1. TRI GUNA
A. Pengertian tri guna
Triguna terdiri dari 2 kata yakni“Tri” yang artinya tiga
(3)“Guna” yang artinya sifat Jadi, Triguna artinya : tiga sifat yang
mempengaruhi kehidupan manusia. Antara sifat yang satu dengan yang lainnya
saling mempengaruhi dan membentuk watak seseorang. Apalagi diantara ketiga
sifat-sifat tersebut terjalin dengan harmonis, maka seseorang akan dapat
mengendalikan pikirannya dengan baik. Akan tetapi, hubungan antara ketiga sifat
itu akan terus bergerak bagaikan roda kereta yang sedang berputar silih
berganti, saling ingin menguasai sifat yang lain, selama manusia hidup.
B. BAGIAN-
BAGIAN TRIGUNA
·
Sifat Sattwa atau Sattwam
Sifat
sattwa atau sattwam yakni sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang,
tentram, waspada, disiplin, ringan dan sifat-sifat baik lainnya.
·
Sifat Rajah atau Rajas
Sifat
rajah atau rajas yakni sifat lincah, gesit, goncang, tergesa-gesa bimbang,
dinamis, irihati, congkak, kasar, bengis, panas hati, cepat tersinggung, angkuh
dan bernafsu.
·
Sifat Tamah atau Tamas
Sifat
tamah atau tamas yakni sifat paling tidak sadar, bodoh, gelap, sifat pengantuk,
gugup, malas, kumal dan kadang-kadang suka berbohong.
C. Pengaruh
Triguna pada Kehidupan Pribadi Seseorang
·
Orang yang dikuasai oleh sifat sattwam
biasanya berwatak tenang, waspada, dan berhati yang damai serta welas asih.
Kalau mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu secara matang,
kemudian barulah dilaksanakannya. Segala pikiran, perkataan, dan perilakunya
mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan. Seperti tindakan Sang Yudistira dan
Sang Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan Sang Rama dan Wibhisana
dalam cerita Ramayana.
·
Orang yang dikuasai oleh sifat rajah
biasanya selalu gelisah, keinginannya bergerak cepat, mudah marah dan keras
hati. Orangnya suka pamer, senang terhadap yang memujinya dan benci terhadap
yang merendahkannya. Yang baik pada sifat rajah itu adalah sifat giat bekerja
dan disiplin.
·
Orang yang dikuasai sifat tamah biasanya
berpikir, berkata, dan berbuat sangat lamban. Kadang-kadang enggan, malas, suka
tidur, rakus, dan dungu. Besar birahinya, keras keinginannya, serta suka tidur
campur dengan anak dan istrinya.
2.5.2. DASA MALA
Dalam Kitab Bhagawadgita telah disebutkan bahwa pada
dasarnya kecederungan budhi manusia ada dua jenis yaitu Daiwa Sampad dan Asuri
Sampad. Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat tidak
baik (Asubha Karma). Banyal perilaku yang tidak baik yang perlu kita
hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu perbuatan-perbuatan yang tidak
baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam diri manusia. Ada beberapa
kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti : Tri Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi,
Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala adalah sepuluh macam sifat-sifat yang
kotor/tidak baik, yang perlu kita hindari karena tergolong Asubha Karma.
Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk
perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang cenderung kepada kejahatan.
Semua perbuatan yang bertentangan dengan susila hendaknya kita hindari dalam
hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun pembagian dari Dasa Mala
tersebut adalah sebagai berikut :
- Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur
saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan sikap malas adalah
sikap yang dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena sikap ini
merupakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke
dunia ini adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini
tidak mau melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak
akan bisa mencapai Kesempurnaan hidup. Hilangkan sifat
bermalas-malas karena tidak ada tujuan yang dapat dicnapai dengan hanya
berdiam diri, bahkan sifat malas akan makin menjauhkan Atma dengan
Paramatma. Oleh karena itu hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas
dan kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
- Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak
mau memahami maskud orang lain. Sifat putus asa, suka menunda-nunda suatu
pekerjaan tergolong sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. Orang
yang dalam kehidupannaya lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat tamas akan
menyebabkan Atma jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih
unggul dari sattwam dari rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang
dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk
maju/untuk mencapai Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya.
Jangan cepat terputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka
menunda-nuda waktu untuk melakukan tugas dna kewajiban karena hidup kita
hanya sebentar.
- Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan
gembira melakukan kejahatan. Pikrian paling menentukan kualitas perilaku
manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah yang mengatur gerak
sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak baik
maka indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula.
Oleh karena itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda
dan menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa
nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lmain. Upayakan untuk
menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Ada tiga
cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :
- Si tan engin adengkya ri
drbyaning len, artinya tidak menginginkan milik orang lain.
- Si tan krodha ring sarwa sattwa,
artinya tidak membenci semua mahluk.
- Si mamituha ring haning
karmaphala, artinya orang yang amat yakin pada kebenaran hukum
karmaphala.
4. Kitula artinya
menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru
Menyakiti dan membunuh mahluk lain, lebih-lebih manusia
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti
pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang
gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang bersifat negatif
termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua. Di dalam pergaulan ini
akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan sekarang maupun pada kehidupan
yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita ubah himsa karma menjadi ahimsa
karma. Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang menyebabkan mahluk
lain menderita, agar kehidupan kita menjadi tenang, tentram dan bahagia.
5.
Kubaka artinya
pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan keras
kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam
darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada badan kita sehingga
kita akan menjadi sakot. Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan
kedamaian dalam pikiran, maka kita akan mengeluarkan cairan endorfin yang dapat
menambah sistem kekebala tubuh sehingga dapat mencegah penyakit. Kita harus
mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan
emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai.
6.
Metraya adalah
suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri orang
lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti orang
lain bahkan bisa menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri
sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh sebab itu martilah kendalikan
kata-kata kita agar terdengar manis dan mengejutkan, lemah-lembut, ospan,
sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri (Wasita nimittanta
manemu laksmi. Ada empat macam pengendalian kata-kata yaitu :
a.
Tidak suka mencaci maki
b.
Tidak berkata kasar pada orang lain
c.
Tidak memfitnah
d.
Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
7. Megara artinya
berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih
Perbuatan jahat tergolong asubha
karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai
tujuan rohani. Ada tiga macam pengendalian perbuatan agar tercapai tujuan
keharmonisan, yaitu :
a.
Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
b.
Tidak melakukan kecurangan terhadap harta
benda orang lain (tidak mencari)
c.
Tidak berzina
d.
Ragastri artinya bernafsu
dan suka memperkosa
8. Ragasti
merupakan sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat
seperti itu sifat-sifat asuri sempat/sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa
kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat suka
memperkosa harus dihindari untuk menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral.
Jika ragastri dibiarkan maka akan menambah banyak terjadi perbuatan tuna
susila. Untuk melenyapkan sifat-sifat itu kita hendaknya berusaha untuk
mengendalikan dan menghindarinya, serta mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan
yang positif dan bisa menuntut jiwa bersatu dengan Ida snag Hyang Widhi Wasa.
9. Bhaksa
Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan
hidup berpoya-poya. Berpoya-poya berarti mempergunakan harta melebihi batas
normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak
baik pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa kekayaan yang berlimpah jika
penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru menyebabkan orang
akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita penghibur dan sebagainya,
selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup sederhana akan bisa juga
meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baik lahir maupun batin.
10. Kimharu artinya
penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan
irihari. Sifat dengki dari iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang baik
(Asubha Karma). Sifat Ini patut dihilangkan dari diri seseorang itu. Bahkan
saking kuatnya sifat dengki dan iri hati bercokol pada diri seseorang,
diperlukan upaya yang kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena itu dia katakana
sebagai salah satu musuh dalam diri manusia out. Ingat Sadi Ripu (musuh yang
enam jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut dikalahkan yaitu, Kama, Loba
Krodha, Mada, moha dan Matsarya). Matsarya adakah sifat dengki dan iri hati
juga termasuk salah satu sifat kurang simpatik tetapi juga kurang baik. Bisa
juga tidak etis. Sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat yang
kotor dari sepuluh macam sifat kotor (Dasa Mala) lainnya yang perlu kita
kendalikan agar tercapai kesucian diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Demikianlah sepuluh yang menyebabkan manusia tersesat dan
jatuh ke neraka. Sadarilah hal tersebut dan dihindari Dasa Mala itu sehingga
tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham jagadhita yang ca iti dharma dapat
terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan berbuat baik, kurnagi
keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa kasih sayang kepada
sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.
Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa Mala tumbuh dengan
suburnya di hati manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam masyarakat begitu
banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan terjadi akibat
dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap benda-benda
duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari merugikan orang lain.
Orang banyak mencari popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan, seperti kasus pengeboman di beberapa daerah di
Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga dapat melakukan
perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa penyesalan atas
peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa. Belum genap setahun tragedy bom
bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota Jakatta dengan terjadi bom di
Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5 Agustus 2003. Ini menunjukkan bahwa
orang seperti itu sudah diliputi oleh Dasa Mala terutama Leja (pikiran
gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan).
Di era reformasi ini, orang mulai bebas berbicara, sering
berkata sembarangan, saling mencari maki, memfitnah yang dapat menimbulkan
akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya orang lain. Tidak
jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya sepahit empedu. Apa yang
dikatakan bohong belaka. Kata manis yang diucapkan hanyalah sebagai alat
untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Akibat dari keterikatan
diri terhadap benda-benda duniawi, banyak orang mulai menghalalkan segala cara
untuk memuaskan diri ,seperti melakukan penipuan, pemerasan, dan perampokan.
Hasil kejahatan tersebut tidak jarang dipergunakan untuk berfoya-foya,
mabuk-mabukan, membeli narkotik, dan kemudian melakukan pemerkosaan.
Pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi, orang
tidak lagi menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi hormat kepada guru,
dan banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Pelecehan seksual
sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya sendiri. Berita di
televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat tindak criminal,
seperti perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang terlibat perdagangan narkotik
yang sulit diselesaikan seperti patah satu tumbuh seribu. Pembunuhan terjadi
dimana-mana, sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa. HAM sudah tidak
dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak manusia tidak lagi memikirkan
etika, sopan santun, dan tata karma. Di zaman kali yuga ini artha di
agung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat pertama dan merupakan
segala-galanya, seperti disebutkan did alam kitab Nitisastra IV.7 sebagai
berikut :
Singih yan tekaning
yuganta kali tanhana lewuha sakeng mahadhana, tan walanguna curu pandita
widagha pada mangayap ing dhacewara, sakwehning inasya san wiku hilang, kulu
ratu pada hna kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara
wiryapandita”
Artinya
:
Sesungguhnya
bila zaman kali datang pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai. Tidak
perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh, orang yang pandai akan mengabdi
kepada orang yang kaya. Semua pelajaran Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang,
keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan
menipu dan mengumpat orang tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat
kemuliaan dan kepandaian.
2.6. Pengaruh
Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia
Tri Guna ini merupakan tiga sifat yang mempengaruhi
kehidupan manusia, sehingga dapat kita lihat di dunia ini ada bermacam-macam.
Kecenderungan sifat manusia. Ada orang yang berpenampilan lemah lembut
selalu ramah, dan menyenangkan bagi yang melihat. Namun ada juga orang
yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya. Selain hal tersebut di
atas tidak jarang juga kita melihat ada orang yang penampilannya awut-awuran,
tidak terururs serta pemalas. Semua penampilan tersebut disebabkan oleh adanya
pengaruh dari bagian-bagian Tri Guna yang tidak seimbang.
Beberapa
sloka dalam kitab suci yang memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap
kepribadian manusia adalah sebagai berikut :
“Yan satwawika ikang
citta, ya hetuning atma pamunggihaken kamoksan, apan ya nirmala, dumeh ya
gumawayaken rasaning agama lawan wekas ning guru
(Wrghaspati tattwa, 20)
Artinya
:
Apabila
sattwa citta itu, Itulah Atma menemukan kamoksaan, atau kelepasan oleh karena
itu ia suci, menyebabkan ia melaksanakan ajaran agama dan petuah guru.
Yapwan pada gong nikang
sattwa lawan rajah, yeka matangnyan mahyun mugawaya dhama denya, kedadi pwakang
dharma denyu kalih, ya ta matangnyun mudih ring swarga, apan ikang sattwa
mahyun ing gawe hayu, ikang rajah manglakwaken”
(Wgraspati
tatwa, 20)
Artinya
:
Apabila
sama besarnya anatara sattwam dan rajah, itulah menyebabkan ingin mengamalkan
dharma olehnya, berhasilah dharma itu olehnya berdua, itulah menyebabkan
pulang ke sorga, sebab sattwam ingin berbauat baik, si rajah itu yang
melaksanakan.
Yan pada gingnta katelum
ikang sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma manusia, apaan pada wineh
kahyunya”
(Wraspati
tatwa, 22)
Artinya
:
Apabila
sama besarnya ketiga Guna, Sattwan, Rajah, dan Tamah itu, itulah yang
menyebabkan penjelmaan manusia karena sama memberikan kehendaknya /
keinginannya.
“Yapwan citta si rajah
magong, kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma tibeng
naraka”
(Wrhspati
tattwa, 23)
Artinya
:
Apabila
citta si rajah besar, hanya marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang
menyebabkan jatuh ke neraca.
Berdasarkan sloka tersebut di atas maka jelaskah yang
menyebabkan adanya perbedaan kelahiranitu adalah Tri Guna (sattwam, rajah, dan
tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma muncul suka duka.
Demikianlah penjelasan beberapa sloka kita Wrhaspati
tattwa, yang pada dasarnya menyatakan bahwa Tri Guna ada pada setiap prnag
hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi
oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana, berpikiran terang dan
tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga merupakan sifat
sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi seseorang maka orang
tersebut menjadi tangkas, keras, rajin dan penuh usaha. Sifat congkak dan iri,
bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun bila guna tamaha lebih banyak
berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamba, malas dan
bodoh. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu juga termasuk sifat-sifat
tamah. Di dunia ini tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga Guna
tersebut merupakan satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan yang
berbeda-beda. Perpisahan diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena
dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Dan pengaruh
Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang digolongkan sifat-sifat
yang baik dan ada yang buruk.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Tri Guna pada
hakekatnya merupakan bagian dari prakerti/predhana, sebagai asas kebedaan. Bila
Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna mulai aktif dan ingin saling
menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan tamah, maka Atma
mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama kuatnya, maka Atma
mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan Tamah berimbang, maka
menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari sattwam,
Rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat
rajah yang lebih unggul dari Sattwam dan Tamah, menyebabkan Atma jatuh ke alam
neraca . Apabila sifat tamah yang lebih unggul dari Sattwam dan rajah , maka
Atma menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dari penjelasan tersebut, kita mempunyai pengetahuan
bahwa Tri Guna sangat berpengagruh terhadap baik-buruknyakehdiupan manusia.
Manusia hendaknya mampu mengendalikan Tri Guna ini dengan baik,
menggunakan sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri Guna akan memebirkan
manfaat pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah ke arah Sattwam,
karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana menyebabkan Atma mengalami
kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh hal yang kita hindari.
2.7. PENGERTIAN
DAN BAGIAN-BAGIAN CATUR WARNA , CATUR ASRAMA DAN CATUR PURUSARTHA.
A. Catur
Warna
Kata Catur Warna berasal dari bahasa
sanskerta dari akar kata Vr yang berarti pilihan. Catur warna
berarti empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk
pribadinya masing-masing. Sistem kemasyarakatan Agama Hindu “Catur Warna” yang
di dalam sejarah perkembangannya mengalami bintik-bintik hitam. Bintik-bintik
hitam itu dapat meracuni tata kemasyarakatan Hindu “Catur Warna”, dimana
asal-usulnya bukanlah dimaksudkan demikian. Hal ini merupakan persoalan yang
mesti dihadapi oleh masyarakat Hindu secara umum sebagai suatu struktur tetap
dari masyarakat Hindu. Dalam kehidupan individu “Warna” adalah amat penting
karena dapat pula merangsang hidup manusia untuk berbuat baik atau jahat.
Prilaku jahat sebagai akibat tidak langsung yang dapat ditimbulkan setiap saat.
Warna “Catur Warna” memiliki manfaat sangat strategis dalam upaya meningkatkan
professional umat Hindu.
Kata “Catur Warna” dalam ajaran Agama Hindu
berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata “Catur dan Warna”. Catur berarti
empat dan Warna berarti tutup, penutup, warna, bagian luar, jenis, watak, bentuk,
kasta. Catur Warna berarti empat pengelompokkan masyarakat dalam tata
kemasyarakatan agama Hindu yang ditentukan berdasarkan profesinya. Pemahaman
tentang “Catur Warna” dapat dirumuskan berdasarkan sastra drstha.
Yang dimaksud pemahaman “Catur Warna” berdasarkan sastra
drstha adalah pemahaman yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang
catur warna menurut rumusan kitab suci, seperti :
“Caturvarnyammaya srstam, gunakarma vibhagasab, tasya
kartaram apimam, viddhy akartaram avyayam” (Bhagawan Gita IV.13)
Artinya
:
“Catur
Warna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan).
Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan.
Demikianlah kitab suci menyebutkan bahwa
konsepsi tentang “Catur warna” diciptakan oleh Sang Hyang Paramakawi. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa setiap orang yang lahir ke dunia ini sudah
barang tentu memiliki dan membawa keahliannya masing-masing. Oleh karena itu
diantara kita hendaknya mau dan mampu belajar untuk mengakui kemampuan dan
professional ciptaan beliau secara jujur dan
bertanggung jawab. Hindarkanlah diri kita masing-masing untuk mendiskriditkan
sesame kita. Mengapa demikian dan yang manakah bagian-bagian dari “Catur
Warna” itu?
B. Bagian-bagian
Catur Warna
Untuk dapat menjadi manusia yang baik, manusia hendaknya
selalu mengadakan kerjasama yang harmonis dengan sesame mahluk ciptaan-Nya.
Manusia itu hendaknya selalu merealisasikan ajaran Tat Twam Asi, Maha Kekal,
tanpa awal dan akhir yang sering disebut “Wiyapi-wiyapaka nirwikara”.
Wiyapa-wiyapaka berarti meresap, mengatasi, berada disegala tempat (semua
mahluk) terutama pada manusia. Kriya (karya) saktinya Tuhan, yang paling utama
adalah mencipta, memelihara dan melebur alam semesta ini beserta segala isinya
termasuk manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Percikan Tuhan yang ada dalam
tubuh manusia disebut atman atau jiwatman. Didalam kitab upanisad disebutkan
“Brahman atman aikyam” yang artinya Brahman (Tuhan) dengan atman adalah tunggal
adanya.
Kitab Candogya Upanisad menyebutkan “Tat Twam Asi”. Kata
tak berarti itu atau dia, Twam berarti engkau, dan Asi berari adalah/juga. Jadi
Tat Twam Asi berarti dia atau itu adalah engkau juga. Didalam filsafat Hindu,
dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesuilaan yang tanpa batas, yang
identik dengan “prikemanusiaan” dalam Pancasila. Konsepsi sila prikemanusiaan
dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh adalah merupakan
realisasi ajaran tattwamasi yang terdapat dalam kitab suci Weda. Dengan demikian
dapat dikatakan mengerti dan memahami, serta mengamalkan, melaksanakan
Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran Weda. Karena maksud yang terkandung
didalam ajaran Tattwamasi ini “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua
mahkluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga
menolong diri kita sendiri. Disini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa
cinta dan keihklasan sesuai dengan ajaran agama Hindu.
“Brahmanaksatriyavisam, sudranam ca paramtapa, karmani
pravibhaktani, svabhava prabhavair gunaih
(Bhagawad
Gita XVIII.41)
Artinya
:
“Oh,
Arjuna tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai
halnya Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan juga Sudra.
Pengelompokkan masyarakat menjadi empat
kelas ini sebenarnya bukan saja hanya terdapat pada Hindu saja, tetapi bersifat
universal. Klasifikasi tergantung dari tipe alam, bakat kelahiran manusia.
Setiap kelompok dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak
selalu ditentukan oleh keturunan, sebagai mana dijelaskan dalam kitab Bhagawad
Gita. Teori warna adalah sangat luas dan mendalam. Tiap-tiap individu
adalah fokus dari yang maha tinggi. Selama manusia melakukan
pekerjaan sesuai dengan alam kelahirannya, itu adalah baik dan benar. Dan bila
mereka hanya mengabdikan diri kepada Tuhan, pekerjaannya adalah menjadi alat
penyempurna dari jiwanya.
Problem dari kehidupan manusia pada dasarnya adalah
menemui kebenaran dari jiwa kita dan lalu hidup menurut kebenaran itu. Ada
empat tipe pada garis besarnya kehidupan manusia itu, yakni dengan
mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat kelas ini tidak ditentukan
oleh kelahiran akan tetapi karakteristik psykhologis. Yang manakah
bagian-bagian dari catur warna tersebut?
Untuk lebih memudahkan kita memahami tentang keberadaan
“Catur Warna” ke empat bagian yang dimaksud adalah :
1.
Brahmana Warna
2.
Ksatrya Warna
3.
Wesya Warna
4.
Sudra Warna
Masing-masing
bagian dari Catur Warna tersebut diatas dapat dijelaskan secara singkat seperti
di bawah ini :
- Brahmana Warna adalah
individu atau golongan masyarakat yang berkecimbung dalam bidang
kerohanian. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan,
melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk
menjalankan tugas itu. Seseorang disebut Brahmana karena ia memiliki
kelebihan dalam bidang kerohanian.
- Kesatrya Warna ialah
individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang memimpin
bangsa dan Negara. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas
keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki
kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang disebut kesatrya karena
ia memiliki kelebihan dalam bidang kepemimpinan.
- Wesya Warna adalah individu atau golongan
masyarakat yang memiliki keahlian dibidang pertanian dan perdagangan.
Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena
ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan
tugas-tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seseorang disebut
wesya karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pertanian dan perdagangan.
- Sudra Warna ialah individu atau golongan
masyarakat yang memiliki keahlian dibidang pelayanan atau membantu.
Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena
ia memiliki kemampuan tenaga yang kuat dan mendapatkan kepercayaan untuk
menjalankan tugas-tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Seseorang disebut sudra karena ia memiliki kelebihan dalam bidang
pelayanan.
Berdasarkan uraian singkat tersebut dapat
dinyatakan bahwa yang disebut Catur Warna adalah
mengelompokkan masyarakat guna dan bakat. Penggolongan masyarakat ini
didasarkan atas fungsional, oleh karena pembagian golongan ini didasarkan atas
tugas, kewajiban, dan fungsinya di dalam masyarakat. Penggolongan ini bukan
bersifat turun-temurun. Adanya penggolongan ini merupakan suatu kenyataan dan
kebutuhan dalam masyarakat.
Sistem warna tidak sama dengankasta, sebab agama Hindu
mengutamakan ajaran Tat Twam Asi dalam memupuk pergaulan dan kerjasama dalam
masyarakat. Jadi semuanya itu berdasarkan sifat dan sikap saling
hormat-menghormati untuk meningkatkan sikap kemanusiaan yang agamis. Siapa saja
diantara umat kebanyakan akan dapat menjadi “Brahmana, Kesatrya, Wesya, dan
Sudra” bila memiliki kemauan dan kemampuan untuk itu. Tinggi rendahnya
kedudukan seseorang di dalam masyarakat tidak ditentukan oleh keturunannya,
melainkan oleh kemampuannya untuk menjalankan suatu tugas.
- C. Catur Asrama
Kata Catur Asrama berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur yang
berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau
lapangan “Kerohanian”. Kata “Asrama” sering juga dikaitkan dengan jenjang
kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur,
dan sifat prilaku manusia.
Susunan tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani
seseorang. Perkembangan rohani berproses mulai dari bayi, muda, dewasa, tua,
dan mekar. Kemudian berkembang menjadi rohani yang mantap mengalami ketenangan
dan berkeseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang
berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.
Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran
agama Hindu dengan jelas bahwa hidup itu di program menjadi empat fase dalam
kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan manusia
mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan menunjukkan
hasil yang sempurna. Dalam fase pertama, kedua, ketiga dan ke empat rumusan
tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang
yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti
tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga ataupun ke empat. Demikian
seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal
itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan tidak sulit
tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mendapatkan
pengalaman sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama
Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini.
Masing-masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu
mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan Atma
menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.
D. Bagian-bagian
Catur Asrama
Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya
Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu
dijelaskan sebagai berikut :
“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha,
Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya”.
(Silakrama
hal 8).
Artinya
:
Yang
bernama Catur Asrama ialah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.
Berdasarkan
uraian dari Agastya Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur Asrama
itu. Catur asrama ialah empat fase pengasraman berdasarkan petunjuk kerohanian.
Dari ke empat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat
manusia secara berjenjang. Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan
proses menuju ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada
jenjang Moksa sebagai akhir pengasramaan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh
setiap umat. Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri dari unsur –unsur sebagai
berikut :
- Brahmacari Asrama
- Grhastha Asrama.
- Wanaprastha Asrama.
- Bhiksuka “Sanyasin” Asrama.
Masing-masing
jenjang dari memiliki kurun waktu tertentu untuk melaksanakannya. Pelaksanaan
jenjang perjenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban
moral dalam hidup dan dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya
permasalahan yang dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan
pernah dikeluhkan oleh pelakunya. Idialnya memang seperti itu, tidak ada
sesuatu “permasalahan” yang patut kita keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan
dan menguasai sang pribadi kita tidak akan pernah membantu secara ikhlas untuk
mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya mampu
mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama
telah menggariskan kepada umatnya untuk tidak hanya biasa dan kaya mengeluh.
Renungkanlah sloka suci berikut ini :
“Niyatam kuru karma tvam,
karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi cha ten a prasidheyed akarmanah
(Bhagawadgita III.8.42).
Artinya :
Lakukan
pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik
sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara
badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.
“Yajnarthat karmamo
nyatra, loko yam karma bandhanah, tadartham karma kaunteya, muktasangah
samachara
(Bhagawadgita III.9.43).
Artinya :
Kecuali
pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya dunia ini juga terikat oleh
Hukum Karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai Yadnya,
bebaskan dari semua ikatan.
Demikainlah
Sri Bhagawan Kresna menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang telah
diwajibkan dengan benar dan tanpa terikat akan hasilnya. Tujuannya tiada lain
adalah agar semua karma atau perbuatan yang kita lakukan diubah menjadi yoga,
sehingga kegiatan itu dapat membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
Bila
seseorang melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka
menyamakan dirinya sebagai manusia yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak
akan menjadi Karma Yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan
mementingkan dirinya sendiri, dengan rasa keterikatan, yaitu merasa
perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu akan mengakibatkan kesedihan.
Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut :
“Na buddhi bhedam
janayed, ajananam karmasanginam, joshayet sarva karmani, vidvam yuktah samacharan”
(Bhagawadgit III.26.50)
Artinya :
Orang
yang pandai seharusnya jangan menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang
terikat pada pekerjaanya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam
jiwa yoga, harus menyebabkan orang lain juga bekerja.
Bekerjalah “Karma” untuk
dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini sebagai mana
dijelaskan dalam ajaran Catur Purusa Artha. Hanya dengan melakukan kewajiban Karma seseorang
akan terbebas dari semua masalah yang dihadapinya. Apakah Catur Purusa Artha
itu?
E. Catur
Purusa Artha
Di
dalam ajaran agama Hindu terdapat suatu prinsip ajaran yang berbunyi “Moksa
artham jagadhita yaca iti dharma” yang berarti tujuan umat manusia beragama
adalah untuk mencapai “Jagadhita” atau sejaktera dan “Moksa” atau kebahagiaan.
Jagadhita adalah tercapainya kesejahteraan jasmani, sedangkan Moksa adalah
terwujudnya ketentraman bathin, kehidupan abadi yakni manunggalnya Sang Hyang
Atma (roh) dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Kitab Sarasamuscaya menyebutkan
sebagai berikut :
“Yatnah kamarthamoksanam
krtopi hi wipadyate, dharmamaya punararambhah sankalpopi na nisphalah. Ikang
kayatnan ri kagawayaning kama, artha, mwang moksa, dadi ika tanpa phala, kunang
ikang kayatnan ring dharmasadhana, niyata maphala ika, yadya pin angenangen
juga, maphala atika”
(sarasamuscaya, 15).
Artinya :
Supaya
diperhatikan dengan diingat-ingat dalam mengusahakan Kama, Artha dan Moksa,
sebab tidak ada pahalanya. Adapun yang harus diusahakan dengan jalan dharma,
tujuan itu pasti tercapai, walaupun hanya dalam angan-angan saja akhirnya akan
berhasil.
Memperhatikan sloka di atas, jelaslah bahwa “Moksa Artha
jagadhita ya ca iti dharma” adalah merupakan ajaran tentang tujuan hidup umat
manusia. Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi “Catur Purusa
Artha” atau sering juga disebut dengan istilah “Catur Warga”. Jadi kata “Catur
Purusa Artha” atau “Catur Warga” dapat diartikan; Catur berarti empat, Purusa
berarti jiwa atau manusia, dan Artha berarti tujuan hidup. Catur Purusa Artha
berarti empat tujuan hidup manusia yang utama. Sedangkan Catur Warga, yang
terdiri dari kata Catur berarti empat dan Warga berarti jalinan erat atau
golongan. Catur Warga berarti empat tujuan hidup umat manusia yang utama yang
terjalin erat antara yang satu dengan yang lainnya.
Demikianlah
ajaran ini sudah sepatutnya untuk selalu dipedomani dalam pengabdian hidup ini.
Bila kita tidak ingin mendapatkan tantangan yang lebih berat lagi, kenapa harus
menunggu lebih lama lagi. Tidak ada waktu terlambat untuk belajar memulai
membiasakan diri berbuat baik. Bukanlah beliau bersifat maha
pemaaf, maha pemurah, maha pelindung dan maha kasih? Pahami, pedomani dan
wujudkanlah dalam setiap langkah hidup kita ini dengan bagian-bagian dari
ajaran Catur Purusa Artha sebagai satu kesatuan yang utuh.
Yang manakah bagian-bagiannya?
F. Bagian-bagian
Catur Purusa Artha
Ajaran Catur Purusa Artha merupakan modal dasar umat
Hindu berupaya untuk mewujudkan tujuannya beragama. Tujuan dari pada umat
beragama patut dipedomani dengan ajaran “Catur Purusa Artha”. Dengan demikian
maka cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan hidup jasmani dan kebahagiaan
hidup rohaninya dengan sendirinya akan tercapai. Mencapai kebahagiaan jasmani
atau kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (kebahagiaan yang kekal)
hendaknya dijadikan komitmen dalam hidup ini. Tujuan ini disebut dengan “Moksa
Artha jagadhita ya ca iti dharma”. Ajaran tentang Catur Purusa Artha adalah
merupakan ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Banyak
inteprestasi tentang ajaran tersebut akan ditemukan namun hakekat ajarannya
akan tetap sama. Apakah yang dimaksud dengan Catur Purusa Artha?
Di
dalam Kitab Brahma Purana mengenai Catur Purusa Artha ada disebutkan sebagai
berikut :
“Dharmartha kama moksaran
sariram-sadhanam” (Brahman Purana 228,45).
Artinya
:
Tubuh
adalah alat (untuk mendapat) Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Selanjutnya
dalam kitab Astha Dasa Parwa pada bagian Udyoga Parwa kita temukan ajaran yang
berkaitan dengan hakekat dharma, sebagai berikut :
“Ikang dharma ngaranya,
hetuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu, an hetuning banyaga
nertasing tasik (Udyoga Parwa).
Artinya
:
Yang
disebut Dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke surge, sebagai halnya
perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi pedagang dalam mengarungi
lautan.
Kutipan
di atas menjelaskan kepada kita bahwa manusia harus menyadari apa yang menjadi
tujuan hidupnya. Apa yang harus dicarinya dengan badan yang dimilikinya.
Semuanya itu tak lain adalah sebagai pengalaman dari ajaran dharma sebagai
salah satu bagian dari ajaran Catur Purusa Artha. Yang manakah bagian-bagian
dari ajaran catur Purusa Artha itu?
Sesuai
dengan beberapa penjelasan tersebut diatas yang termasuk bagian-bagian dari
Catur Purusa Artha antara lain :
- Dharma
- Artha.
- Kama.
- Moksa
Penjelasan
lebih lanjut tentang bagian-bagian ajaran catur Purusa Artha, secara singkat
dapat diikuti pada uraian hubungan Catur Asrama dengan Catur Purusa Artha
sebagaimana terurai berikutnya setelah uraian singkat darihubungan catur Warna
dengan Catur Asrama.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan
yang bisa kami rangkum adalah:
- Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah
awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik, mulia, dan indah.
Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan. Susila adalah
tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman
hidup manusia.
- Beberapa ajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan
susila adalah . Susila Sad Atatayi, Etika, Triguna dan dasa mala ,Catur Warna
, Catur Asrama Dan Catur Purusartha.
- Contoh-contoh beberapa perbuatan susila adalah
memberikan sedekah, memberi pelajaran dan nasihat-nasihat kepada
orang-orang miskin, memberikan pertolongan kepada orang lain, melaksanakan
ajaran Tri Kaya Parisudha.
3.2
Saran-saran
Saran yang dapat kami berikan adalah dalam kehidupan
sehari-hari kita sangat perlu melaksanakan susila itu, dengan melaksanakan
ajaran susila akan dapat memberikan manfaat yang bagus dikehidupan kita. Pahami
dan laksanakan ajaran susila tersebut.
Terimakasih Kepada : ARYAKUS
No comments:
Post a Comment