Pages

Sunday 8 June 2014

SAD DARSANA

Sad Darsana 

Sad darsana artinya enam pemikiran filsafat yang diterima dan diakui sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari system kepercayaan agama hindu.
1.             Filsafat samkhya
Pendiri ajaran ini bernama Maharsi Kapila, yang menulis samkhyasutra. Kitab-kitab tattwa seperti Wrhaspatitattwa Jnana, Ganapati tattwa berbahasa jawa kuno dalam Saiwapaksa banyak mendapat pengaruh dan bahkan merupakan ajaran samkhya dan yoga. Menurut filsafat samkhya, hakikat manusia dan alam semesta terdiri dari dua unsure, yaitu purusa, asas kejiwaan (rohani) dan prakrti, asas badani (materi/jasmani). Kedua asas ini, terutama setelah purusa bertemu dengan prakrti, akan menyebabkan prakrti berkembang sebagai unsure penyusun tubuh manusia maupun alam semesta.[1]
Jadi ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) disini dipergunakan untuk membukyikan adanya prakrti.[2] Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan sesuatu, yang telah termuat didalam sebabnya.
Selanjutnya didalam prakrti terdapat  tiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattwa, unsure-asali dari segala yang terang, sesuatu yang memberi kepuasan, ketentraman, yang mengkan hati manusia. Rayas, nafsu yang berkobar, sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram. Tamas, kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu, yang muram, yang sedih, merasa hancur dan duka cita.
Jika prakrti dan purusa saling mendekati terjadilah proses yang banyak seluk beluknya sebagai berikut:
1.      Lahirlah budi, kesadaran.
2.      Unsure kedua adalah ahamkara, kesadaran akan adanya sesuatu “aku” (subjek)
3.      Manas: kekuasaan untuk mengamati dan untuk member reaksi terhadap apa yang diamati.
4-13. manas terbagi menjadi 10 daya kekuatan yang bermacam-macam,
-          Lima budi-indria                              -           karma-indria
Perasaan                                                       berkata
Pendengaran                                                memegang
Penglihatan                                                  berjalan
Pengecap                                                     mengosongkan
Pencium                                                       bersalin
14-18. kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi: kelima tanmatra. Kecuali daya penglihatan ada juga kesan-kesan penglihatan; selain perasaanada juga pengindraan perasaan atau kesan perasaan.
Kedelapanbelas pokok ini semuanya masih berupa setengah jiwa, termasuk dalm tingkatan badan yang halus yang bersama sama mewujudkan ” badan linga” yang artinya cirri jiwa perseorangan. 
19-23. Benda yang kasar, “Zat” didalam pengretian filsafat barat terdapat lima buah anasir: Eter (Mahabhuta), hawa, api, air, bumi.
Jika pada tiga buah pokok ini kita tambahkan lagi prakerti dan kurusa terdapatlah jumlah 25. Ini adlah bilangan yang paling kramat pada system samkhya. 
Menurut ajaran samkhya, ada 3 sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu :
a.    Pratyaksa pramana adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan dengan cara pengenalan terhadap obyek itu pasti dan benar melalui penentuan buddhi.
b.    Anumana pramana yaitu pengetahuan yang didapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal ini apa yang diamati akan menghantarkan seseorang pada pengetahuan yang tidak diamati langsung melalui hubungan universal.
c.    Sabda pramana adalah pernyataan dari yang kuasa dan memerikan pengetahuan mengenai suatu obyek yang tidak dapat diketahui atas dasar pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan.
Ajaran tentang moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat samkhya. Dalam ajaran samkhya, kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan.
2.             Filsafat yoga
Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang  biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti).
Pembangun ajaran ini adalah maharsi patanjali. Bila kitab weda merupakan pengetahuan suci yang sifatnya teoritis, maka yoga merupakan ilmu yang sifatnya praktis dari ajaran weda.
Tulisan pertama tentang ajaran weda adalah kitab yoga sutra karya maharsi patanjali. Seluruh kitab yoga sutra terbagi atas empat bagian yang terdiri dari 194 sutra. Bagian pertama disebut samadhipada yang berisi ajaran yoga. Bagian ke dua, sadhanapada memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti mencapai Samadhi, tentang kedukaan, karmaphala dan sebagainya. Bagian ke tiga disebut wibhutipada berisi segi batiniyah ajaran yoga tentang kekuatan ghaib yang diperoleh dalam melaksanakan yoga. Bagian ke empat disebut kaiwalyapada melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Patanjali mengartikan yoga sebagai berhentinya kegoncangan pikiran. Keadaan ini ditentukan oleh intensitas sattva, rajas dan tamas.
Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan sebagai tangga yang membimbing kehidupan biasa menuju realisasi Diri dan melampaui personalitas ego.

Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga

Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta itu dalam keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa itu dibebaskan dari kesengsaraannya. Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah ‘pembebasan’ (kaivalya).
Mahārși Patañjali dalam kitab Yoga Sutras menyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras

1.              Disiplin Moral (Yama)                        5. Pengendalian Indera (Pratyahara)
2.              Disliplin Diri (Niyama)                       6. Konsentrasi (Dharana)
3.              Postur Tubuh (asana)                          7. Meditasi (Dhyana)
4.              Pengendalian Napas (pranayama)      8. Ekstasis (Samadhi)

Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti, orang harus dapat menindas wrtti itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.
3.             Filsafat mimamsa
Pendiri ajaran ini adalah maharsi jaimini. Sumber utamanya adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab weda (brahmana kalpasutra). Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia adalah muksa, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam weda.
Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan. 

Ajaran dalam filsafat Mimamsa
Pokok  pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan  kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa.
Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata
Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri. Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah:
1.    Pengamatan (Pratyaksa)
2.    Penyimpulan (anumata)
3.    Kesaksian          (Sabda)
4.    Perbandingan (Upamana)
5.    Persangkaan       (Arthapatti)
6.    Ketiadaan          (Anupalabdi)
Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan.
Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan).
Jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting.
Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu:
a.         Bumi           f. Akal
b.        Air             g. Pribadi
c.         Api              h. Ruang
d.        Hawa          i. Waktu
e.         Akasa
Sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda).

4.             Filsafat nyaya
Secara harfiah, kata “Nyaya” berarti sarana yang membimbing pikiran untuk mencapai suatu kesimpulan. Kata Nyaya lantas menjadi setara dengan ‘Argumen”,karena itu system filsafat yang menggunakan argument secara menyeluruh disebut filsafat nyaya. Secara popular, nyaya berarti ‘benar’ atau ‘lurus’,sehingga nyaya menjadi sains tentang penalaran yang benar. Dalam arti sempit, ‘nyaya’ berarti penalaran silogistis,sedangkan dalam arti yang luas , ‘nyaya berarti peme-riksaan objek melalui bukti-bukti dan menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan yang benar.Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi :
1.        Subjek pengenal (pramatr)
2.        Objek (prameya)
3.        Kondisi hasil dari pengenalan (pramiti)
4.        Sarana pengetahuan (pramana)
Pendiri ajaran ini adalah maharsi gautama (gotama), yang menulis nyaya sutra. Kata nyaya berarti suatu penelitian yang analisis dan kritis, disebut realistis karena mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Dalam memecahkan ilmu pengetahuan filsafat ini mempergunakan empat metode (catur Pramana), sebagai berikut:
o    Pratyaksa, yaitu pengamatan langsung melaui panca indra.
o    Anumana, pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh.
o    Upamana, ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan.
o    Sabda, pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya.
sistem nyaya-vaishenhika mewakili tipe filasafat analisis serta menjungjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas system nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains,yakni pemeriksaan logis dan kritis, mereka mencoba untuk mengembalikan subtansi-subtansi tradisional, jiwa di dalam diri dan alam (nature) di luar diri, tanpa semata-mata berdasarkan otoritas. Kaum nyaya mengakui kebenaran segala sesuatu berdasarkan akal-budi (reason). Yang membedakan system nyaya dari system lainnya adalah perlakuan kritis terhadap masalah metafisika. Vacaspati mendefinisikan tujuan nyaya sebagai pemeriksaan kritis atas objek pengetahuan melalui pembuktian logis. Sistem nyaya sebenarnya juga menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta beragumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti.
Filsafat nyaya bukan hanya mempertanyakan cara serta sarana yang dipakai oleh pikiran manusia untuk mengerti dan mengembangkan pengetahuan,tetapi juga menafsirkan fakta-fakta logis dan mengungkapkannya dalam rumusan yang logis.

Substansi dan Kategori
Keragaman benda-benda yang dialami dapat dibagi menjadi dalam kelompok-kelompok yang disebut ‘subtansi’. Nyaya-vaishehika membagi subtansi menjadi Sembilan macam yakni :
1.        Tanah (prithivi)
2.        Air (apah,jala)
3.        Api (tejas)
4.        Udara (vayu)
5.        Eter (akasha)
6.        Waktu (kala)
7.        Ruang (dik)
8.        Diri (atman)
9.        Pikiran (manas).
Kesembilan subtansi ini bersama-sama dengan berbagai sifat dan hubungannya menjelaskan seluruh semesta alam.
system nyaya-vasheshika meletakkan objek dalam enam katagori berbeda yakni :
·      Kualitas (guna)
Katagori ini mencakup 24 gunas, yakni warna (rupa),rasa (rasa),bau (gandha),sentuhan (sparsa),angka (sankhya),ukuran (parimiti),perbedaan (prthaktva),hubungan (samyoga),pemisah (vibhaga),kedekatan (paratva),berat (gurutva),kecairan (daravatva),kekentalan (sneha),suara (sacda),pengetahuan (buddhi),keinginan (iccha),kebencian (dvesa),usaha (yatna),kebaikan/jasa (dharma),keburukan (adharma),dan kesan laten (samskara).
·      Tindakan atau macam-macam gerak (karma)
Yang berhubungan dengan unsure dan kualitas, namun uga memiliki realitas mandiri,ada lima macam gerak yakni : ke atas, ke bawah, mendatar,mengerut, dan mengembang.
·      Universalia (samanya)
Aspek objek yang memberikan label secara umum menurut sipat yang paling umum, imi agak mirip dengan idenya plato. Seperti contoh “ ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup,tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri,namun hanya melalui dengan se ekor ‘sapi’ dan kesapian dipahami sebagai dua entitas berbeda.
·      Individualitas (visesa)
Katagori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya.
·      Hubungan niscaya (samavaya)
Dimensi objek ini menunjukkan hakekat hubungan yang mungkin kalitas-kulitasnya yang inheren.
·      Penyangkalan,negasi,non-eksistensi
Katagori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut dalam partikel subatomic terpisah melalui pelarutan universal dan ke dalam ketiadaan.

Ajaran tentang Tuhan
Karena nyaya menyakini keberadaan weda, maka penganut nyaya (naiyayika) percaya akan adanya tuhan dan tuhan disamakan denagn siwa. Ada dua bukti yang menunujukkan adanya Tuhan, yaitu:
a)        Bukti Kosmologi
Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama.sebab itulah tuhan.
b)       Pembuktian teologis
Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan atura tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut.yang mengadakan itulah tuhan.
Tuhan disebut juga paratman karena tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana. Memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung.

Ajaran tentang Kelepasaan
Kelepasan merupakan tujuan dari mahluk (manusia).Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan itu akan didapat dari tuntunan tuhan melalui ajarannya. Sebagai wujud dari kelepasan iyalah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar kelahiran dan penderitaan terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja)dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma.

5.             Filsafat waisesika
Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, System ajaran filsafat ini dipelopori oleh Maharsi Kanada. Adapun sebagai sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan Maharsi Kanada Sendiri yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof  menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok filsafat waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan.
Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. sistem waisesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman.
Sistem  filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang artinya  kekhususan,  yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah  kekhususan  Padartha.
 padartha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.
7 katagori (padartha), yaitu :
1.    Substansi (drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : Tanah (prthivi); Air (apah,  jala); Api (tejas); Udara (vayu); Ether (akasha); Waktu (kala); ruang (dik); diri (atman); pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rohaniah.
2.    Kualitas (guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat.
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu :
1) warna (rupa);                            13) kecairan/keenceran (dravatva)
2) rasa (rasa);                                14) kekentalan (sneha);
3) bau (gandha);                           15) suara (sabda);
4) sentuhan/raba (sparsa);             16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana);
5) jumlah (samkhya);                    17) kesenangan (sukha);
6) ukuran (parimana);                   18) penderitaan (dukha);
7) keaneragaman (prthaktva);      19) kehendak (iccha);
8) persekutuan (samyoga);           20) kebencian/keengganan (dvesa);
9) keterpisahan (vibhaga);            21) usaha (prayatna);
10) keterpencilan (paratva);         22) kebajikan/manfaat (dharma);
11) kedekatan (aparatva);            23) kekurangan/cacat (adharma);
12) bobot (gurutva);                     24) sifat pembiakan sendiri (samskara).
8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha, dukha, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.
3.    Aktifitas (karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada.
Ada 5 macam gerak, yaitu : Utksepana (gerakan ke atas); Avaksepana (gerakan  ke bawah); A-kuncana (gerakan membengkok); Prasarana (gerakan mengembang); Gamana (gerakan menjauh atau mendekat)
4.    Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu :
o  sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah
o  jenis kelamin dan spesies.
5.    Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf  Vaishesika.
6.    Hubungan Niscaya (samavaya).
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan.
7.    Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness).

6.             Filsafat wedanta
System filsafat Wedanta juga disebut uttara mimamsa. Kata “wedanta” berarti ‘akhir dari weda”. Sumber ajarannya adalah kitab-kitab uppanisad. Maharsi vyasa menyusun kitab yang bernama wedantasutra. Kitab ini dalam bhagavad Gita disebut brahmasutra, oleh karena kitab wedanta bersumber pada kitab-kitab upanisad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa tuhan yang maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal God).
Wedanta artinya adalah akhir dari Weda, sumber kitabnya adalah Upanishad. Filsafat wedanta lahir untk merespon zaman Upanishad. Pokok ajarannya adalah membicarakan tentang Tuhan, Roh dan Dunia (Brahman , atman dan Alam). Filsafat wedanta terbagi menjadi 3, yaitu:
1.      Adwaita
Pendirinya adalah Shankara (abad ke-8), menurut Shankara Brahman dan alam berbeda, tidak ada yang ada kecuali Brahman yang lain yentang alam hanyalah ilusi karena keadaannya dapat berubah. Shankara membagi pengetahuan kedaam dua macam:
a.       Pengetahuan tinggi, kebenaran yang memang benar (Brahman).
b.      Pengetahuan rendah, kebenaran yang tidak membawa kenyataan yang sebenarnya (alam)
Tentang moksa, Shankara berpendapat bahwa orang akan mencapai moksa, jika sudah tidak tertarik dengan kehidupan dunia, karena dunia hanyalah semu. Semakin orang mengikat dengan kehidupan dunia maka akan semakin jauh dengan moksa.
2.      Wasistadwaita
Pendirinya adalah Ramanuja (abad ke-11), menurut Ramanuja bahwa ada dua yang tampak namun tak dapat dipisahkan yaitu adanya substansi dan sifat, seperti mawar merah, mawar=substansi, merah=sifat (antara mawar dan merah adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan), sama halnya tidak bisa menjelaskan Brahman tanpa adanya manifes dari Atman (ada yang dijelaskan dan ditentukan), artinya bahwa Brahman berbeda dengan Atman namun tak dapat dipisahkan, kehidupan hanyalah manifes dari Brahman.
3.      Dwaita
Pendirinya adalah Madhva (abad ke-13),  konsepnya adalah “beda” ada banyak yang “ada”, disini terdapat lima perbedaan, yaitu:
a.       Tuhan berbeda dengan jiwa
b.      Jiwa berbeda dengan jiwa lainnya
c.       Tuhan berbeda dengan Benda
d.      Jiwa berbeda dengan benda
e.       Benda berbeda dengan benda lainnya
Perbedaan tentang tiga sekolah utama dalam filsafat Wedanta:Adwaita (Non-dualisme) Wasistadwaita (non-dualisme) Dwaita (dualism)


[1] Djam’annuri. Agama Kita: perspektif sejarah agama-agama (sebuah pengantar),h. 56
[2] Dr. A.G. Honig Jr. Ilmu Agama. diterjemahan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto, (Jakarta: PT BPK gunung Mulia,  2011), cet. XIII, h. 130


sumber : http://catatanifanur15.blogspot.com/p/sad-darsana.html

No comments:

Post a Comment