KATA PENGANTAR
Di antara sasana–sasana dalam
bahasa Jawa Kuno yaitu Vrati Sasana, Rsi Sasana, Stri Sasana maka agaknya Siwa
Sasanalah yang paling tua usianya. Hal ini didasarkan atas kosa kata dan gaya
bahasanya.
Seperti ditunjukan oleh namanya,
Siwa Sasana, maka sasana ini adalah untuk para pandita Saiwa. Karena di
dalamnya ada menyebutkan bahwa sasana ini untuk pandita Saiva di Jawa, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa lontar ini ditulis di Jawa.
Kalau diamati ternyatalah bahwa
agama Hindu di Indonesia adalah agama Hindu yang memuja Bhatara Siwa sebagai
Tuhan yang tertinggi. Sanghyang Widhi Wasa adalah sebutan Tuhan yang amat umum.
Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi sendiri.
Bhatara Siwa dipuja oleh umat
Hindu Indonesia. Ia dipuja sebagai Trimurti yaitu : Brahma, Wisnu dan Iswara,
sebagai Panca Brahma yaitu: Sadya/Sadyajata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora dan
Isana sebagai Dewata Nawa Sangha yaitu ; Mahesvara, Brahma, Rudra, Mahadewa,
Sangkara, Wisnu, Sambhu dan Siwa.
Ajaran Ketuhanan seperti ini
direalisasikan dalam membangun merajan, sanggah, pura, dalam banten, dalam puja
dan sebagainya.
Padma Tiga di Besakih, gedong di
pura, kemulan di sanggah adalah tempat memuja Bhatara Siwa apakah sebagai Tri
Murti atau Pitara sebagai wujud Bhatara Siwa. Jelas bahwa tawur, bagia
pulakerti dan sebagainya merupakan banten yang diilhami oleh konsep Ketuhanan
sebagai Dewata Nawa Sangha. Pujapun demikian. Sebagian besar puja (demikian
pula saa) ditunjukan kepada Bhatara Siwa dalam berbagai-bagai manifestasinya.
Di dalam Siwa Sasana disebutkan
adanya “paksa-paksa (sekte)”- Saiwa yaitu Saiwa Siddhanta, Waisnawa, Pasupata,
Lepaka, Canaka, Ratnahara dan Sambhu. Diantara nama sekte-sekte itu yang masih
sampai sekarang ialah Saiwa Siddhanta untuk menamakan ajaran agama Hindu
Indonesia. Bila diamati ternyata lainlah Saiwa Siddhanta Indonesia dengan Saiwa
Siddhanta di India. Saiwa Siddhanta Indonesia merupakan kristalisasi dari
berbagai ajaran agama Hindu khususnya dari kitab-kitab Purana. Sehubungan
dengan itu maka Saiva Indonesia kadang-kadang disebut Saiwa Purana. Siwa Sasana
adalah sasana untuk pandita Saiwa. Karena agama Hindu Indonesia memuja Bhatara
Siwa, maka Siwa Sasana adalah untuk semua sulinggih Hindu Indonesia.
Dalam Siwa Sasana penggunaan
kata-kata sadhaka dang upadhyaya sering benar, kadang-kadang berselang-seling.
Semuanya menunjuk pada seseorang yang melaksanakan hidup kerohanian sebagai
pandita. Acarya dan dang upadhyaya lebih cenderung berarti seorang pandita
guru.
Disamping itu ada pandita yang
disebut dang acarya wrddha pandita, sriguru pata, dang upadhyaya pita maha,
prapita maha, dan bhagawanta yang masing-masing berarti pandita guru yang
agung, guru yang mulia yang senang membaca, kakek guru, kakek yan agung, dan
bhagawan. Perbedaan diantara para pandita tersebut didalam Siwa Sasana tidak
dijelaskan.
Kepada mereka itulah Siwa Sasana
ini ditunjukan untuk dilaksanakan dengan tujuan agar mereka dapat
mempertahankan martabatnya sebagai pandita, dan menegakkan dharmanya. Suatu uraian
yang panjang dalam lontar ini ialah uraian tentang syarat-syarat seorang acarya
yang dapat dijadikan guru dan yang harus dihindari sebagai guru.
Syarat-syarat
ini amat berat sehingga sukarlah kita mendapatkan acarya seperti itu. Walaupun
demikian syarat-syarat ini mencerminkan acarya yang ideal. Syarat-syarat
acarya yang baik dijadikan guru ialah :
-
Berkepribadian baik
-
Sastrawan
-
Ahli Weda
-
Menguasai hawa nafsu
-
Taat melaksanakan brata
-
Senior dalam umur
-
Ahli bahasa
Acarya krta diksita yaitu acarya
yang menjadi gurunya guru ialah acarya keturunan sadhaka yang memang disiapkan
untuk menjadi acarya. Ia juga disebut dang upadhyaya. Acarya yang
demikianlah tempat orang mohon sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu
suci).
Dia yang di-sangaskara
oleh acarya seperti itu akan :
-
Hilang nodanya
-
Hilang papanya
-
Bebas dari mara bahaya
-
Bebas dari duka nestapa
Orang harus menghindari
acarya yang tidak baik untuk dijadikan guru. Acarya yang demikian ialah acarya
yang :
-
Pengetahuannya rendah, acuh tak acuh, cepat bingung, linglung, kaku.
-
Duryasa yaitu bermoral rendah seperti rendah budi, congkak, curang, senang
mabuk, licik, angkara murka, iri hati, senang berbohong, benci berbuat jasa,
bermusuh pada teman, menghina ibu bapaknya, menghina brahmana dan menghina
Tuhan. Acarya yang demikian akan terbentur-bentur kesana kemari karena bodohnya
sehingga ia akan menanggung hukuman para dewa. Akibat dari semua ini, maka
acarya yang demikian itu akan tetap hanyut dalam perbuatan yang melawan dharma
sehingga pintu neraka terbuka lebar-lebar untuknya.
Seorang acarya, walaupun
ia sudah termasuk acarya yang baik, tidak baik tergesa-gesa melaksanakan krta
diksa. Ia harus :
-
Mengamat-amati akan sifat-sifat baik dan dosa pada dirinya dan berusaha
menjadikan dirinya suci.
-
Melaksanakan tugas-tugasnya sampai selesai.
-
Mengembangkan keluhuran budi dan kecerdasan akal.
Dasar untuk mewujudkan
hal-hal tersebut diatas ialah trikaya yaitu :
-
Kaya yaitu badan /perbuatan
-
Wak yaitu kata-kata
-
Manah yaitu pikiran
Trikaya ini dilaksanakan
berdasarkan subhakarma perbuatan-perbuatan baik. Bila ketiga-tiganya sudah
dilaksanakan dengan baik maka ia disebut trikayaparamartha.
Seorang dang upadhyaya
harus melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan kaya sebagai berikut :
-
Senang bekerja
-
Melangsungkan yadnya
-
Melaksanakan puja dan japa
-
Memuja Bhatara
-
Terus mendalami sastra agama
-
Mengajar
-
Menerima tamu sadhaka
-
Membantu yang melaksanakan yoga dengan dana punya yang diperlukan.
Seorang Dang Upadhyaya
harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan wak yaitu :
-
Memperbincangkan tentang pemujaan kepada para dewa dan Brahmana.
-
Mendiskusikan pengetahuan, filsafat dan agama.
-
Mempelajari dan merapal mantra-mantra Weda.
-
Berkata jujur
-
Menepati janji
-
Tidak berkata-kata yang menyakitkan hati.
-
Tidak mengeluarkan kata-kata kasar
-
Tidak memfitnah.
-
Tidak berbohong.
-
Tidak menghina.
-
Tidak mencerca sesama sadhaka dangupadhyaya.
-
Tidak mencela brata sesama sadhaka.
Ia harus mengucapkan :
-
Kata-kata yang manis.
-
Kata-kata yang benar.
-
Kata-kata yang lembut.
-
Kata-kata yang menarik hati.
-
Kata-kata yang bersahaja.
Pikiran seorang
Upadhyaya hendaknya :
-
Bersih.
-
Budiman.
-
Tenang.
-
Tangguh.
-
Senang mengampuni.
-
Lapang hati yang berdasarkan maitri, karuna, mudita, dan upeksa.
-
Kasih sayang.
Ia hendaknya tidak:
-
Curang.
-
Licik.
-
Sombong.
-
Mabuk.
-
Congkak.
-
Loba.
-
Bingung.
-
Cepat naik darah.
-
Keras kepala.
-
Iri hati.
-
Busuk hati.
-
Durhaka.
-
Menghina teman.
Ia hendaknya :
-
Ikhlas.
-
Berbudi baik.
-
Hormat.
-
Jujur.
Walaupun hal-hal tersebut di
atas sudah dipenuhi, maka seseorang dang upadhyaya juga tidak boleh
tergesa-gesa melaksanakan krta diksa terhadap seorang sadhaka. Sadhaka yang
akan diberikan krta diksa perlu diteliti :
-
Umurnya.
-
Umur istrinya.
Bila sadhaka itu masih keluarga
dang upadhyaya itu dapat diberikan krta diksa pada umur 50 tahun, dan bila
tidak keluarganya pada umur 60 tahun. Bila umurnya sudah memenuhi syarat pada
waktu itulah ia dapat melaksanakan krta diksita dan yang didiksa boleh
mempergunakan/siwa upakarana yaitu perlengkapan seorang pandita dalam melakukan
pemujaan.
Setiap sisya yang akan
didiksa harus dipilih. Tidak boleh sembarang orang dijadikan sisya. Yang patut
dijadikan sisya dan dapat didiksa ialah :
-
Punya
janma
: orang baik-baik.
-
Maha prajnana
: arif bijaksana.
-
Satya
wak
: setia dengan kata-kata.
-
Sadhu
: saleh.
-
Silawan
: berbudi baik.
-
Sthira
: tangguh.
-
Dhairya
: berani.
-
Swami bhaktya
: bhakti kepada junjungan.
-
Dharma wista
: ?
Kemudian ditambah lagi
syarat lain :
-
Suddha janma: orang suci.
-
Maha pawitra kawangannya: kelahiran dari keluarga suci.
-
Wwang satya wacana: orang yang jujur berkata-kata.
-
Wwang sujana tuhu-tuhu: orang yang baik yang benar-benar mahardika
-
Wwang prajna wruh mengaji : orang pandai yang tahu mengkaji pengetahuan.
-
Wwang satwika sadhu mahardika: orang yang sungguh – sungguh
saleh (Bijaksana)
-
Wwang susila apageh ring winaya : orang berbudi baik tetap hati pada winaya
-
Wwang sthira stiti ring abhipraya: orang yang teguh dengan tujuan
-
Wwang dherya dharaka angelaken : orang yang tahan uji
menanggung suka Suka
-
Wwang satya bhakti matuhan : orang yang setia bakti kepada junjungan.
-
Wwang mahyun ring kagayaning: orang yang mau melaksanakan dharma (Dharma karya)
-
Wwang mapageh magawe tapa : orang yang teguh melaksanakan tapa.
Sedangkan yang tidak
patut dijadikan sisya dan dapat didiksa ialah :
-
Wwang cuntaka: seperti orang memegang mayat, pernah dihukum, pernah dikencingi,
pernah dipukul kepalanya dan sebagainya.
-
Wwang patita walaka: seperti orang yang menyembah orang yang paling rendah
derajatnya, orang yang memikul usungan yang berisi orang, tikar, kasur dan
sebagainya.
-
Wwang sadigawe seperti : mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang hina.
-
Wwang banijakrama: yaitu berjual beli.
-
Wwang wulu-wulu: seperti membuat periuk, menjadi tukang dan sebagainya.
-
Wwang candala: seperti menjadi gagal, tukang cuci dan sebagainya.
-
Wwang kuci angga: seperti orang cebol, bungkuk, bulai dan sebagainya.
-
Wwang maha duhka: seperti orang yang menderita penyakit kusta, gila, ayan,
buta, tuli, bisu, pincang dan sebagainya.
Orang yang sudah didiksa juga
tidak boleh didiksa lagi. Bila syarat-syarat tersebut dilanggar maka baik guru
maupun sisya sama-sama akan mendapatkan hukuman. Hukumannya antara lain nama
diksanya harus ditarik lagi dan yang bersangkutan harus dibuang keluar pulau
Jawa. Namun bila syarat-syarat orang menjadi sisya dipenuhi maka ia dapat
didiksa. Dalam pada itu dang acarnya harus selalu melaksanakan kewajibannya
sebagai guru yaitu:
-
Majarana-dharma ning sisya yaitu mengajar dharmanya sisya.
-
Maweha kriya : memberikan sisya tugas
-
Mawaraha ring dasasila mwang pancasiksa, guru talpaka lawan trikaya paramartha
: mengajarkan dasasila dan pancasiksa, guru talpaka dan trikaya paramartha.
-
Mangajarana kaling acara mwang karma sila winaya : mengajarkan hakekat tingkah
laku dan perbuatan sila dan winaya.
-
Mohuta ng upakrama ring agamanya : mencegah penyelewengan terhadap agamanya
-
Swikarapageh deyanya gumegosanghyang Siwa brata : bersungguh-sungguh dan teguh
usahanya mengamalkan brata Sanghyang Siwa.
-
Aywa wimarga sake kabhujangganya : jangan menyimpang dari tata tertib
kependetaannya.
Adapun sikap dan cara dang
acarya mengajar muridnya adalah :
-
Aywa krodha: jangan marah
-
Aywa lobha : jangan loba
-
Aywa parusya : jangan kasar
-
Aywa irsya : jangan iri
-
Aywa drohi : jangan berkianat
Dan sikap dang acarya
yang lain :
-
Aywa sang guru nistura tumon sisya dina kalaran manmu dukha : janganlah sang
guru tidak menaruh kasih sayang terhadap muridnya yang hina menderita
menanggung duka.
-
Aywa lwirtan uninga tumon sisya salah silanya mwang swabhawanya : janganlah
acuh tak acuh melihat tingkah laku dan keadaan muridnya yang salah.
-
Aywa gigu mohut ri sisya magawe papakarma angde patitanya : janganlah ragu-ragu
mencegah murid berbuat hina yang menyebabkan jatuhnya.
-
Aywanangguh patita ring sisya mon ta byakta cihnanyan patita : janganlah
menuduh murid jatuh bila tanda-tanda jatuhnya tidak jelas.
-
Aywagya kumaniscaya percaya ring sila mwang brata ning sisya : janganlah cepat
percaya akan tingkah laku dan bratanya murid.
-
Aywa tan parcaya yan kateher byata ning silanya : janganlah tidak percaya bila
tingkah lakunya jernih terus menerus.
-
Aywa ninda pracoda : jangan mencela.
-
Aywa mucca sisya tan sayang akrama denda dosa : janganlah menyakiti sisya,
tidak sayang pada yang berbuat salah dan dosa.
-
Aywa mucca sisya sulaksana : janganlah menyakiti sisya yang bertingkah laku
yang baik.
Siwasasana diakhiri dengan
ancaman hukuman keras kepada barangsiapa yang berani melakukan upawada
(cercaan) kepada para sadhaka. Hukuman ini sudah tidak dapat diterima pada
jaman sekarang.
SALINAN LONTAR SIWA
SASANA
Nihan sanghyang Siwa Sasana
kayatnakna, de sang watek sadhaka makabehan, sahananira para dhangacaryya saiwa
paksa, Iwir nira, saiwa siddhanta, wesnawa, pasupata, lepaka, canaka, ratnahara,
sambu, nahan Iwir nira sang sadhaka saiwa paksa, pramuka sira dhangacaryya
wirddha pandita, sri guru pata, dhangupadhyaya pita maha, prapita maha,
bhagawantha, nahan Iwir nira kabeh, yatika kapwa kumayatnakna mrihakmitana
sanghyang agama siwa sasana, maka don karaksaning kabhujangganira, mwang
kawinayanira, pagehaning karmmanira, sela nira, mwang kasudharmanira, nguniweh
teguhaning tapa brata nira, ritan hananing wimarga hamanasara sakeng sanghyang
kabhujanggan, nahan hetu sanghyang agama siwa sasana winakta de sang
purwwacaryya wrddha pinandita, ndan Iwir nira sang sadhaka dhang acaryya sang
yogya pinaka pagurwan, mwang tan yukti pinaka guru, ya ta cinaritan kramanira
rumuhun, nihan lwir nira: sajjanah, wrddha wehaso, sastrajnah, wedaparagah,
dharmajjah, sila sampanah, jitendriyah, drdha bratah.
Nihan lwira sang sadhakanung
yogya dhangguru upadhyaya dening loka, acaryya wrddha pandita, wrddharing wayah
tuwi, acaryya prajja sabdikawruh mangaji wala widya mwang tarkka wyakaranadi,
acaryya weda paraga, wruh ringangga pangupangganyaning Sang hyang catur weda,
wruh ring kaswadayan sanghyang sruti smrti, acaryya stiti gumawe dharma
sadhana, sakti ring kagawayaning yasa dana kirtti, acaryya, suddha sila, apageh
manutta sadhu winayan, pawitra sulaksana kuneng, acaryya jitendriya, tyaga
kasakta ring bhoga wisaya, acaryya sudhira dharaka teguh ring tapa brata, nahan
Iwir nira sang sadhu wenang gawayen dhang upadhaya, nga, dhangacaryya krtta
diksita, pinaka guru guru, panadhahan sangskara mwang bhasma, wenang sadhakanung
wenang dumiksanangaskara sakala janma sadhaka wangsa parampara, kinaryya
nimitta wiku, tumut sadhaka saiwa paksa, sang sadhaka mangkana kramanya, sirata
wiku maha pawitra wenang sira dhangupadhyaya ngaranira, kuneng sang sadhaka
sinangguh pangupadhyaya, pilihana jatinira de sang pudghala, ring sedeng nira
hyunira sangskara, hyunira sangskara, ikangacaryya sapatuduh inghulun juga
pilihana. Deledelen salah siki gawayen guru, sangksepanya, madumpi-dumpilana
juga de yaning sisya mangungsi guru, aywanaku guru tahun sing maha pawitra
laksana nira paten guru. Aparan kaphalaning manembah ring kadi sira sadhaka,
wiku maha pawitra, nyapan tahan kwa linganta. Nihan kottamanya kapawitraning
maguru sulaksana.
Laksmi duhka sahasrani sangsara
papanasanam paratre naraka, nasti siwa lokam apnuyat.
Nihan kadiwyaning telas diniksa
de dhangacaryya wiku mahapawitra huwus wrddha pandita, byakta ilang mala
kaluusanikangwang, athawa tan kataplan dening wighna sabhaya, duhka wedhana,
luput saking sangsara pataka, pira takuneng kwehaning papa ningwang, mwang
gongngaya, yadyan sewu kwehaning papa, sabhumi sasumeru gonganya lawan
ngyetnya, niyata katerilanganya matmahana mukta wisarjjana, mon diksana de
dhangaryya maha pandita, gatinyan lalu kapawitran sang sadhaka pandita maha
wisesa, wenang umilangaken papaning sisya, dumehnya mangkana, ya ta matangnyan
dhangupadhyaya wenang pagurwaning sisya, away bhangbhang guru, nyapan tahan
kadurus ngwang dening kadurlaksananing guru, bhangbhang guru, umungsir guru
maminta diniksa dening sadhaka, nga, alpa sastra, dusprajja, kurang wiweka,
nirwicaksana, pisaningun wruha prakr taning aji kdhikkdhik, ngaya durmmeda
wippaaryya, lumud jugul jadha linglung lelengo, mungeng, bingung, kumwa
prakrtinya, yeka sadhaka mudha, nga. Acaryya duryyasa, nga, adharma, crol nicca
prakrtinya, ambeknya mada moha karana durtta murkka madulur katungka, irsya
matsara kimbhuru, marta wada mitya sing wuwusnya, sinahajaring kadusilan,
durniti durwinaya, nawimukha ringayu, melik ring kagawayaning yasa, manasir
sakeng agama rasa, ninda ring hyang lawan ring brahmana, drohiri mitranya,
talpaka ring gurunya, masampaying yayah mwang bibinya, yaapwan hana sira
sadhaka kumwa kramanya, yeka sadhaka duryyasa, banda tan yukti gawayen guru
desang pudghala, aparan kari dosaning wiku mudha duryyasa tan yukti gurwaning
rat, dumiksana ring sakala jana mahyun wikwa, nyapan tahan kwa linganta, nihan
olanya mpih, katatwanika wwang mudha tan wruh ring nayopadeya mwang parartha
mwang tan wenang rumaksa dharmma, wetning wiparyyayayynya, matmahan pati purug,
mwanganunggawehayu, niyatatmah dosa, nimittaning manemu dewa dhenda, rapuh ning
dewa dhendha, mangdadyaken klesa, nirartha kahenengan ya wekasan, nahan
halaning mudha, kunang halaning duryyasa, ikang wwang jenek ring adharmma, duma
patapa tuwasnya, mamrddhyaken kwehning klesanya, mwang gongning papanya,
amngaken babahaningnaraka loka agyagyan, mapalaywan arep mukti pancagati
sangsara, pisaningu mahlya muliha ring kasugatin, yata matangnyan sahana nira
padha ngacaryya mon mudha duryyasa laksana, nda tan yukti paten guru de sang
pudghala. Sangksepanya duryyasa, basama kelutibeng yama laya, tahun tikang
sadhaka kadi lingku nguni juga swikaran peten guru, ikang wiku nahan pawitra
suddha pandita juga sembahenta, mwang dumiksaha kita.
Tlas kojaran sang sadhakanung
yogya pagurwana, kuneng getyakna tingkahning krama sang sadhakan sampun
dhangupadhyaya caritan kramanya, yan hana sira dhangacaryya, sinambgawa gawayen
pagurwana, nda haywa ta sira gya lumkas krtta diksita mon turung nipuna ring
kriya mwang turung tasak ri tatwa sanghyang kabhujangan, athawa yan
turunganiscaya ri rasa sanghyang siwagama, away siragya lumkas, apayapan tan
dadi ring dhangupadhyaya, yanagwala mwang amana manaha amuranya kasiwatwan,
kuneng deya nira, prakrtining swa sarira nira waswasen rumuhun, rapwan tan
katona ngamung, ndya deyaning dumela prawrtti. Sugyan kwa linganta. Nihan
kramnya mpih delenta hananing guna dosa ring awak, swikaran gonging sarwa guna
wehen parisuddha, aryyaken sahaning dosa, jnengakna sanghyang kabhujanggan, inget-ingetan
mula madhy wasananya, kriya sang sadhaka wehen samapta, pahenak byaktaning
padarthanya, saha prayoganya, pahayun kapagehaning karmma mwang sila nira,
nguniweh kasadhuning winaya nira mwang kasudharmma nira, Kuneng sadananing
mamagehana riya, hana sanghyang trikaya paramartha, nga. Gegen sang sadhaka,
Iwirnya nihan :
Kayika wacikascewa,
Manasikas tratiyaka,
Subha karmma niyowyantu,
Trikayamiti kawyate.
Trikaya, nga, kaya wwang manah
kaya, sarira wak, nga, sabda, mana, nga, ambek, ika ta katiga pinasangaken
manutang dharmma karyya de sang pandita, kapwadine maka bhummnya subha, karmma,
wyaktinya dharma nika yaya sinangguh kayika dharmaning wak ya sinangguh wacika,
dharmaning wak ya sinangguh wacika, Dharmaning manah ya sinangguh manasika, ika
ta kapwa tlas siniddhikara maprawrttya rahayu, maka bumi dharma sadana, ya
kayika wacika manasika, nga. Ri pageh nika katiga, yeka sinangguhan trikaya
paramartha, nga. Iing sang pandita, ndayanung ta karih de sang sadhaka rumegepa
sanghyang trikaya, aparan sadananing manuta ring dharmanya. Nyapan tahan ta
linga sang sadhaka, Om nihan mpih kagegyenira, unyangulaha sang sadhaka mon
sampun dang upadhyaya, sarwa kriyodyuta, protsaha ta sira mangatya
sakagawayaningkriya, nityaha siranggonga pakaryya yajna puja, japa
mangarccaneng bhatara satata, lota mangabyasa sastra mwang amarahana mangaji,
magawaya yasa mwang kirtti, byetswagata ring sadhaka tamuy, nitya saweha dhana
sadyana yoga samadhi samahita, lota magawe siwa smarana nitya kala, nahan
ulahanira sang sadhaka dhang upadhyaya, nyang posikaning sabda pajarakna
denira, mujarakna kasthawaning dewa mwang brahmana, nguniweh kasthawan sang
maharddhika wrddha pandita, umucaranakna prakrttaning sastra wakya amarahana
mangaji, mamicara awala widya mwang amiweka atatwa parijnana mwang agamokta,
masari-sartta swabhaya anguccaranakna weda mantra, mwang satya adenirojar,
satya ring utpanna, away angujaraken karnna sula ring para, away angujaraken
wak parusya mwang pisuna mrsawada ring para, ndan away ninda para codya ring
kapwa nira sadhaka, mwang kapwanira dhang upadhyaya, away ninda ring kriya
mwang gunawan brataning kapwa nira sadhaka, kewalya sira angujarakna satya
wakya, mwang katha komala rum manohararjjawa, nahan Iwiraning sabda wuwusakna
de dhang upadhyaya, nyang Iwiraning buddhi sang sadhaka dan upadhyaya, ambek
suddha satya sadhu santa, dhrti, ksama pagehakna sang sadhaka, maka pagwana
buddhi dhira ibarata nityasa, maka bhummyang metri, karuna, mudita, upeksa,
sama ta anumana ring rat, away sira maka buddhi crol, dhurtta murkka mada mana
lobha moha, ndan away sira gong krodha sanghet, magalak ring kapwa nira
sadhaka, away bhangga irsya katungka matsara kimburu ring kapwa nira sadhaka,
away drohaka sampay awamana ring kapwa nira sadhaka, mwang ring kapwa nira
dhang upadhyaya, kewalya gong srddha gong prasada dara duga duga ta juga paka
budhi sang sadhaka ring parampara mwang kapwa nira sadhaka, nahan Iwiraning
buddhi dhang upadhyaya, anghing samangkana ta juga gegon de dhang upadhyaya
sadhananing krta diksita, sugyan kwa linganta nihan mpih. Anywa gya juga sira
lumkas, nanghera juga sakareng yadyastun huwusa menaka pageh sila mwang winaya
sang sadhaka, nguwineh samaptaha ring kriya nira tuwi, ndan away juga agya
lumkas, ayusya nira herakna, delen wang ning wayah sang sadhaka mwang
wrddhaning wayah nira, sangksepanya, ajwa sang sadhaka lumkas krtta diksita,
duga mwang tuwuh nira, mwang manwam tuwuhning anakbi nira, basama nanmu
wighnaninga lumkas krtta diksita, mon, sira tapwan panitiha ring samangka,
kuneng deya niran pangantya, ya sampun wrddha nggawayawa nira sira lumkas,
kuneng ingananing dawaning yusa nira, mon sadhaka wet bet ning krta diksita,
putra potraka pinangkanggeh nira, yapwan gnep limang puluh tahun, hinganing
wayahning tuwuh nira, yogya lumkasa krtta diksita, kuneng yan tan wasaning
krtta diksita, ahingan nmang puluh tahun tuwuh nira yogya sira lumkasa krtta
diksita, away sang ksepanya, away sang sadhaka lumkas krtta diksita, mon lagi
yowana, mwang lagi yowana ng anakbi nira, away lumkas krtta diksita mon srti
nira turung maren raja swala, yan sampun tlas matuha lakih, lumkas ira dumiksa,
nahan hingananing wala niran lumaksana krtta diksita. Ring huwusning prapta
wayah sang sadhaka, an genep tuhuning tuwuh nira, irika ta sira lumkas krtta
diksita, away sangsaya, parekakna tang pudghala tang sinambhal diksan,
manganakna ta sira diksopacara, magawaya dewa grha, kundha, sthandhila,
mamarekakna siwopakarana, Iwirnya : bhasma, ganitri, guduha, kundhala, wulang
hulu, brahma sutra, ambulungun, pawwahan, camara, argha, tripada sangka,
ghanta, jayaghanti, ika ta kabih siwopakarana, nga, anung drwya sang sandhaka.
Tlas masna pweha kabeh, parekakna tang sisya kamna sangskaran, ndan humera ta
mpu sakareng, ikang wwang masna gawayen pudghala, pilihana rumuhun away
bhangbhang sisya, away wawang winikwan, kunengde sang sandhaka dumele Iwiraning
yogyaning yogya sisya nihan. Punya janma, maha prajna, satya wak, sadhu
silawan, sthira dhairrya, swami bhaktya, dharma wista, tapo nodhah. Nihan
Iwiraning wwang pilihen gawayana sisya, wwang suddha janma, maha pawitra
kawanganya, wwang satya wacana tan mrasodita, wwang sujana tuhu-tuhu
maharddhika, wwang prajna wruh mangaji, wwang satwika sadhu maharddhika, wwang
susilapageh ring winaya, wwang athira sthiti ring abhigpraya, wwang dheryya
dharaka angelaken suka duhka, wwang satya bhakti matuhan, nguniweh ring wwang
atuha, wwang mahyun ring kagawayaning dharma karyya, wwang magapeh magawe tapa,
nahan Iwir ning wwang gawayen sisya, yogya diksan. Lwirning tan yogya diksa
nihan, yadyan bramangsa bhasmangkara jati nikang wwang away sinangskara mon tan
yogya diksan de sang guru, ndya Iwirnya, wwang cutaka, wwang patita wacaka,
wwang kuci angga, wwang walaka, wwang maha duhka. Cutaka janma, nga, wwang
taluwah, Iwirnya, wwang pinaka niwedya, wwang pinaka saji, wwang dana kalaning
sawa, pamaha wwang rahupning sawa, wwang tadhah rah tadhah wuk, wwang wliyan,
winli huripnya kalaning padosan, wwang binandhana, pinanjara, rinantay,
ginantung, pinasar, wwang wurung bela, wurung tinewek, huwus winaweng pamanggahan
smasana, catuspata, wwang malabuh pasir, malabuh parang, malabuh wwai, malabuh
bahni, tapwan mati, wwang kalebu ring sumur, kalebu ring patahyan, wwang dinyus
hulunya ring mutra mwang purisa, wwang sinyukan wwai ring padhamwaning stri,
wwang inmukan kupina mwangken dening adhamajanma, wwang tembha, inisingan
ineyehan kuneng dinulangan purisa eyeh, wwang tembha, inisingan ineyehan kuneng
dinulangan purisa eyeh, mwang tinpak tinampyal dinedel sirahnya mwang mukanya
dening pujut, bondan, kake sangraha kuneng, ika ta kabeh cutaka janma, nga,
wwang manembah ring adhama janma, mamangan tadhahnya, ginunting romanya
sinuyuran kuneng, wwang manembah ring cutaka janma, manembah ring tapodhara,
wwang mangasraya ring adharma janma, wwang mamikul dhampa wimana sedheng hana
manunggang, wwang mamikul phalana, padaraksa, padamwan, kalasa, tilam
pramadhani, yeka patita, nga, mwah sahananing wwang sadigawe, sadigawe, nga,
samudaya, mwang dhang acarya wrddha pandita, pinangen sang para dhang
upadhyaya, pitamaha, prapita maha, bhagawanta, deyaning mahon kapwa malinggieng
sabha, amacaha sanghyang siwa dharma mwang sanghyang siwa sasana, wehen
karengwa de sang sadhaka samirha, anung donya ri tan hanani agamana managa
warga karma mangkana, tibana tapidana gurunya mwang sisyanya, deyaning
mamigraha gurunya pasasan de sang sandhaka kabeh, adapana nama de anyandung
sangskara wayakna namanya walaka alapana kriyanya mwang Siwopakaranya, huwus
pwa pinucca, nyan ta de sang prabhu, bwangen tundhungen umarang nusantara, aywa
wineh mangan tya ring bhumi jawa, kumwa deyaning mamucca gurunya, kunang
sisyanya bandanen ring hwi walatung, bwangen de sang prabhu mareng sagara,
mawana plawa, prapta pwayeng lod pokanata griwanya pasahaken mwang lawayanya,
angganya mwang sirsanya, tibaken telenging payonidhi, ndah mangkana ta dosaning
dwanitinamana diksita, tan rinakwa pamangguhnya papa duhka, hinganyan lalu
tuwasning sadhaka paksa nipuna, teher sara ngukir, ati tan pweka, kuneng Iwira
sang tuhu nipuna sadhu pajarakna ri tlasnira madumpi-dumpilan, wwang yogya
sinambha sisya, nda aywa tampu sangsaya ri kalekasa nigawayaning diksa widhi,
parekaknang pudgala, lumarisa diksana sakweh kdhiknya, bahu sisya kuneng kita,
nda aywa ta mpu wismrti ring dharmaning sadhaka pinaka guru tutanangkwa nyapan
tahan kwa linganta, nihan mpih deya sang sadhaka guru, majarana dharmaning
sisya mwang pudghala, maweha kriya, mohuta ring sisya nguccaratanacara,
mawaraha ring dasa sila mwang panca siksa, guru talpaka lawan tri karya
paramartha, mangajarana kalingacara mwang karmma sila winaya ring sisya,
mahutang apakrama ring agamanyu, swikane pageh deyanya gumego sanghyang siwa
brata, patehen, karmanya, aywa wimarga sake kabhujanggannya, kumwa deya nira
amarah-maraha ring sisya, mwang buddhya sang guru ring sisya, aywa krodha, aywa
lobha, aywa parusya, aywa irsya, aywa drohi ri sisya, krodha, nga, abhimana
mwang galak, masenghi ta tumon sisya, lobha, nga, mahyun mamunpuna wastu
drwyaning sisya, parusya, nga capala tangan, nga,mamalu, mamrep, manampyal ring
sisya, capala wuwus, nga, mangajaraken karnna sula sapata pisuna ri sisya,
irsya, denggya, matsarya, kimbhuru, bwat iryan ring sisya, drohi, nga,
mangupaya halaning sisya, maka nimitta ingsa karma, mwaang raga dwesa, murkka,
nga, crol, kuhaka mada mana katungka pinaka srayanya, ngalaha lama ring
sisyanya, ingsa karma, nga, makira-kira ma matyana, mamatyani kuneng, mahyun
manimbatamranganu duka raga, nga, makira-kira maka nimitta raga wisaya, kahyun
kahala lumakwa macidra ring tanaya dharaning sisya, saha cihna kuneng makuren
makridha cumbana mwang anakbining sisya, dwesa, nga, manupaya halaning sisya,
maka nimittang iliknya moghaten mamucca, haten namidhana, aten dumosana, aten
sahasika sakeng duleknya ring sisyanya, ika ta kabeh sisya drohaka, nga, aywa
sang wiku makam bekika duryyasa, nga, mwang deyan ta muwah, aywa sang guru
nistura tumon sisya dina kalaran manmu duhka, aywalwir tan uninga tumon sisya
salah silanya mwang swabhawanya, aywan durusaken sisya tan wruh ring krama,
aywa gigumohut ri sisya magawe papa karmangde patitanya, aywanangguh patita
ring sisya mon tan byakta cihnanyan patita aywagya kumeniscaya parccaya ring
sila mwang hartaning sisya, aywa tan parccaya yan kateher byaktaning silanya.
Aywa ninda pracodya ring sisyanta, aywa mucca sisya tan sayanga krama dendha
dosa, away mucca sisya sulaksana, maka nimitta krodha mwangilikta, away
nganumana sisya, pasita durlaksana maka mimitta sraddhanta sih ta, sang
ksepanya, mon kita mucca sisya, away tan sayangakrama dhendha dosa, mon kita
nganumana, away tan sayanga kraman anuta pajaring agama, kuneng yan hana
sisyanta hinapawada dening kapwanya sabha, aywagya kita mamituhu, basa malebok
gatining para codya, kuneng deyanta pariksan sudhi-sudhin, dele-delen tuhuning
dosanya tanyanen prihen sarjawanya, yapwan tan ulih kita kita mariksa sisyanta,
teher tamaren pabodyaning para, swikaranta sisya, ajnana denta, kon magawaya
sapata, pangadesana yan tan tuhu patita, kuneng pagawayana sapata, ring siwa,
grha ring agni ring jro kundha, ring lingga, ring parhyangan, ring Siwa pada,
ring pada sang guru, irika pagawayana sapata kasaksyana dening guru, mwang
dhangen sanak, kalanyan masapata, tlasnya masapata, nda tan kaparccaya dening
gurunya pwaya wih, wetning gongning para pawada, mur angdoha taya muwah,
swikaran madewasraya, manghyanga ring silagraha, ripungann tirtha, ring samudra
tira, ring guha, ring tapowana, nahan parana dening sisya, lawasnya lungha,
sewu pitung puluh dina, kuneng mon tan pamangguh wighna ring sapata kala, mwang
sahinganing dewa sarana kala, mwang tan tuhun ika patita, away pinucsa dening
guru yan pamanggih wighna pwa ri sahinganing sapata, mwang dewasraya kala,
puccan de sang gurunya, aywa inanumana, kuneng hangghyaning sadhaka hinapa wada
dening kapwa sadhaka, nirupadrawa sehinganing lawasnyan padewa saksi, tan tuhu
ika patita, ikang sadhaka mangapawada ring gatinya walesanya juga, puccan
dening gurunya, mwang dhngen sanaknya, apayapan walatkara ridiksita padhanya
sadhaka ikang mangapawada purwwa puccan away hinanumana dening gurunya, kumwa
sasananya ling sanghyang agama.
Yapwan walaka wrti pwa
mangapawada ri dhang acaryya, manangguh patita, nda tan hana wyaktinyan patita,
swikaran ta dening gurunya ika sadhaka katkan parapawada, kon madewa saksya
purwwa wat, kuneng yapwan katon byaktanya, aywa pinucca de sang guru, ikang
walaka mangapawada purwwaka pidhanan de sang prabhu, pokkana denira, sirsanya,
pasahaken lawan kamandhanya, aywa ta wineh tiba ring rat, angganya, rahnya,
sirahnya, bwangen, mareng lod tibaken telenging payonidhi, kumwa dhendhaning
walaka ngapawada ring sadhaka, mangamuk sangskaraning sadhaka, nga, Hana wwang
mangapawada ring sadhaka winalingnya tan wet nget brahma kula mwang
bhasmangkara, tuwi sudhinta jatining sadhaka dening gurunya, paranuswa desani
yayah renanya, mon sadhaka yayah renanya mwang kakinyandhunya kuneng, ikang
mangapawada, walesen purwwa wat dhandhanya agalah tuna, nga, yan srti
mangapawada ring sadhaka, manangguh patita, manangguh tan brahma kula
bhasmangkara, kramanya desang guru, kon madewa saksya tang sisya purwat, kuneng
yan tan polih pangapawadaning srti, ikang srti pidhanan de sang narendra,
tewere lidahnya, mwang nasikaning bhaganya, wehen malyangan, tundukana pasa
wesi sedheng abang, dening apuy, tuntun weh katona dening wwang akweh puger
tpining awan, aywa limputan makahingan patinya, kumwa pidhananya padha mwang
angarwwana ring sadhaka, nahan tmahaning mangapawada ring sadhaka, tan wurung
manemu pamaksaning panyodyanya, sangksepanya, yawat sing sadhaka hinapawada,
tawat madewa saksi, yawat wwang mangapawada ri dhang acaryya, sing sawakanya,
mon sadhaka, mon tapo dhara. Mon walaka, mon laki-laki mon srti, mon sahasika
ngupawada yan tan sayata cihna yangawyakti, tawat winales dening apwadhanya,
tan wurung manemu duhka dening panindanya ring para , ya ta matangnyan aywa sadigawe
jati ni kang wwang, nyapan tan kawalesan yeka. Kuneng tata kramaning sadhaka
kabeh caritan, ndya ta Iwirning karmaning para sadhaka, aparan rupaning
silanya, nyapan tahan linganta, o nihan pih deya sang sadhaka, siwapaksa kabeh,
aywa pamada ring kabhujangganya, yatna amriha ri karaksaning kasadhakanya,
tuhun karaksaning sarwa sarira waya wanta raksan rumuhun, tumuta karaksaning
karma.O.
Iti sanghyang Siwa Sasana,
tlasinurating siku srama, isaka 1559. Tithinawami kresna paksa, ring cetra
masa. Pa, pa, Su, wara dungulan, irika diwasanya sampurnnaning pustaka odyakna
kasiddhyan sang anulis, mwang dirggha yusya nira sang amaca, siddhi rastu,
tathastu, astu, Om Om Sri pasupataye namah.
Ri sampuning alawas “Ida Padanda
Tambahu”, asrama ring Ahan, malih tinurun sanghyang Siwa Sasana, reh sampun
awuk, puput anurun ring dina, wu, u, wr, wara Dungulan, tithi krsna paksa ring
sasti, phalguna masa, isaka 1867.
TERJEMAHAN BAHASA
INDONESIA
Hendaknyalah Siwa Sasana ini
diperhatikan oleh para sadhaka semua, semua dang acarya mazab Saiwa yang
terdiri dari Saiwa siddhanta, Wesnawa, Pasupata, Lepaka, Canaka, Ratnahara dan
Sambhu.
Demikian rincian sang sadhaka
mazab Saiwa, terutama dang acarya pandita yang agung, sri gurupata, dang
upadhayaya, pitamaka, parapitamaha, bhagawanta. Demikian adanya semua.
Mereka semua hendaknya dengan
seksama mengusahakan mempertahankan hukum-hukum Siwa Sasana dengan tujuan
menegakan kependetaannya, tertib hidupnya, kelangsungan usaha-usahanya,
perilakunya yang baik, dan dharmanya yang mulia, lebih-lebih pula tetap
berlangsungnya tapa bratanya agar jangan menyimpang dan menyasar dari hukum
kependetaan. Itulah sebabnya hukum Siwasasana diajarkan oleh sang pendeta guru
agung pada jaman dahulu. Adapun sang sadhaka, dang acarya yang patut dijadikan
guru, dan yang tidak baik dijadikan guru, itulah yang akan dijelaskan terlebih
dahulu yaitu :
Sajjanah – orang sejati
Wredaha wehasa – ?
Sastrajnah – pandai tentang
sastra
Wedaparagah – ahli weda
Dharmajnah – pandai tentang
dharma
Sila sampanah – berbudi baik
Jitendriyah – menguasai hawa
nafsu
Drda bratah – taat melaksanakan
brata
Inilah sang sadhaka yang patut
dijadikan guru pengajar oleh masyarakat, yaitu pandita guru yang senior, senior
dalam umur, acarya yang menguasai ilmu bahasa, menguasai bermacam-macam
pengetahuan, ilmu logika, tata bahasa dan lain-lainnya.
Acarya yang ahli Weda, yang
menguasai bagian-bagian Sanghyang catur Weda, dapat menghapalkan Sanghyang
Sruti dan Smreti. Acarya yang teguh menerapkan dharma, mampu melaksanakan yasa,
dana, dan kirti. Acarya yang suci hatinya, berketetapan hati untuk menuruti
tuntunan hidup yang saleh, lagi pula suci, bertingkah laku yang baik.
Acarya yang dapat menaklukan hawa nafsunya, dapat melepaskan diri dari
ikatan kenikmatan duniawi. Acarya yang tabah, teguh, tetap hati dalam tapa
brata. Orang mulia seperti itulah yang patut dijadikan dang upadhyaya.
Yang disebut acarya krta diksita
(pandita guru yang sudah didiksa) ialah gurunya guru, tempat mendapatkan
sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu suci), sadhaka yang berwenang memberikan
diksa sangaskara kepada sesama manusia ialah keturunan sadhaka terus menerus,
yang memang disiapkan untuk menjadi wiku, mematuhi dharma sadhaka mazab Saiwa.
Sadhaka yang demikian itu,
adalah wiku yang maha suci dapat disebut dang upadhyaaya (guru besar). Adapun
diteliti keturunannya oleh sang penganut mazab Saiwa ketika ingin mendapatkan
sangaskara. Hendaknya acarya yang aku tunjukan (kepadamu) juga dipilih.
Perhatikan dengan sungguh-sungguh bila memilih salah seorang untuk menjadi guru.
Kesimpulannya, hendaknya sisya
ikut berperan dalam usaha mencari guru. Janganlah anakku………………………..
Apakah pahalanya menyembah sang
sadhaka, wiku yang maha suci.
Mungkin demikianlah
pertanyaanmu.
Inilah keutamaan kesucian
berguru kepada guru yang berbudi luhur.
Laksmi duhkha sahasrani
Samsara papa nasanam
Paratre naraka nasti
Siva lokam avapnuyat.
Inilah kemuliaannya dia yang
telah didiksa oleh dang acarya. Yaitu wiku yang maha suci, pandita yang sudah
senior, ialah hilangnya noda kecemaran orang itu. Atau ia tidak akan tersentuh
oleh segala marabahaya, duka nestapa, bebas dari sengsara malapetaka. Berapapun
banyaknya papa orang, berapapun besarnya, meskipun seribu banyaknya, sebesar
bumi dan gunung Semeru besarnya dan beratnya, tentu akan lenyap menjadi hilang
sama sekali.
Bila didiksa oleh pendeta guru
maha pandita. Besar benar kesucian sang pendeta guru maha agung, mampu
menghilangkan papa muridnya. Sebab itu maka hendaknya dipilih pendeta guru yang
dapat dijadikan tempat berguru oleh sisyanya. Janganlah berguru kepada guru
yang berbudi rendah.
Boleh jadi orang akan terlanjur
dipengaruhi oleh sifat-sifat aib sang guru bila mendatangi seorang guru,
memohon agar didiksa oleh seorang sadhaka yang buruk tingkah lakunya, sadhaka
yang bodoh, yang tidak banyak mengetahui sastra, yang kurang berpengetahuan,
yang kurang pertimbangan, yang tidak bijaksana.
Lebih-lebih lagi seorang sadhaka
yang tahu sedikit-sedikit saja pengertian yang terkandung dalam pengetahuan,
sehingga ia bodoh, sering salah, ditambah lagi bebal, acuh tak acuh, linglung,
melongo, kaku, bingung. Bila demikian perilakunya maka itu adalah sadhaka bodoh
namanya.
Acarya duryasa ialah acarya yang
tidak melaksanakan dharma, curang, berbudi hina, congkak, mabuk yang
menyebabkan ia bersifat lirih, angkara murka serta jahat, iri hati, tampak
cemburu, mrsawada yaitu segala kata-katanya tidak apat dipercaya. Serta pula
dengan berbudi buruk, tidak memperhatikan tuntunan berbuat sesuatu, memalingkan
muka dari yang baik benci pada pekerjaanyang berbentuk yasa, menyimpang dari
ajaran agama, menghina Tuhan dan Brahmana, bersikap bermusuhan terhadap teman,
menentang guru, menghina ibu dan bapaknya.
Bila ada sadhaka yang demikian
perilakunya, itulah sadhaka duryasa, Tawan. Tidak benar untuk dijadikan guru
oleh seorang pengikut Saiwapaksa. Apakah lagi dosanya wiku yang dungu,
duryasa yang tidak benar dijadikan guru oleh orang banyak, melaksanakan diksa
pada setiap orang yang ingin menjadi wiku ? Mungkin demikian pertanyaanmu.
Inilah buruknya. Dasarnya orang
dungu, tidak tahu petunjuk-petunjuk tuntunan hidup dan kasih sayang kepada
orang lain dan tidak sanggup melaksanakan dharma karena bingungnya sehingga
menjadi terantuk kesana kemari ………
(mwang anung gawe ayu?) selalu
mendapat dosa sehingga mendapat hukuman dewa.
Bila hukuman dewa telah
mengusut, akan menanggung aib, menjadi orang tak berguna dan akhirnya membisu
tanpa kata-kata. Demikian bahaya kebodohan itu.
Adapun bahayanya duryasa, tetap
terlena dalam perilaku yang melawan dharma, tertutup hatinya (?),
mengembangkan aibnya, dan besar papanya, membuka lebar-lebar pintu narakaloka
dengan tergesa-gesa, berlari-lari ingin mengecap pancagati sangsara, mustahil
akan berubah menjadi tingkah laku yang baik.
Itulah sebabnya acarya bila
dungu, duryasa perilakunya, tidak patut diusahakan oleh seorang penganut
Saiwapaksa untuk menjadi guru.
Kesimpulannya orang yang sadar,
janganlah berguru pada seorang sadhaka yang hina dan duryasa, boleh jadi akan
terseret ikut jatuh ke Yamaloka. Hendaknya hanya sadhaka yang aku sampaikan dahulu
saja usahakan dengan sungguh-sungguh dicari untuk menjadi guru. Wiku yang maha
suci, pandita bersih saja hendaknya kamu sembah dan mendiksa kamu.
Telah kusampaikan sang sadhaka
yang wajar dijadikan guru. Mari kita paparkan apa yang ingin diwujudkan dalam
perilaku sang sadhaka yang sudah menjadi dang upadhyaya.
Bila ada dang acarya yang pantas
dijadikan tempat berguru, janganlah hendaknya ia tergesa-gesa melaksanakan
diksa bila ia belum sempurna dalam pekerjaan dan belum matang tentang hakekat
ajaran kependetaan, atau belum yakin benar akan isi ajaran Siwagama. Janganlah
ia tergesa-gesa berbuat, sebab dang upadhyaya tidak boleh hanya menjadikan
tanda dan bermaksud membawa kesana kemari ajaran Siwaan itu? Adapun usahanya
ialah amat-amatilah pekerti diri sendiri terlebih dahulu agar tidak tampak
ngawur. Bagaimana caranya mengamati perilaku itu? Boleh jadi demikian
pertanyaanmu.
Perhatikan akan adanya “guna”
(sifat-sifat baik) dan dosa pada dirimu, usahakan dengan sungguh-sungguh
perkembangan semua sifat-sifat baik dan biarkan supaya menjadi
suci.Tinggalkanlah segala macam dosa, tegakkan kependetaan itu, ingat-ingat
awal, tengah dan akhir dari padanya. Tugas sang sadhaka selesaikanlah. Buatlah
mudah isinya dan penggunaanya. Buatlah lebih baik kelangsungan akan tugas-tugas
dan budi pekertinya, terlebih-lebih tentang keluhuran budi, kecerdasan akal dan
kesudarmannya.
Adapun sarana untuk
mempertahankan itu ialah apa yang disebut trikaya paramartha, pegangan
sang sadhaka. Rinciannya ialah :
Kayika vacikasceva,
Manasikas tratiyaka,
Subhakarmaniyovyantu,
Trikayam iti kavyate.
Tirkaya ialah kaya, wak dan
manah. Kaya adalah badan wak adalah kata-kata, manah ialah pikiran.
Ketiga-tiganya itu hendaknya ditempatkan sesuai dengan usaha-usaha yang
berdasarkan dharma oleh sang pandita. Semuanya supaya berdasarkan subhakarma
(perbuatan yan baik). Sebenarnya dharma kaya disebut kayika, dharmanya wak
disebut wacika dan dharmanya manah disebut manacika. Semuanya itu supaya
diusahakan sampai berhasil berbuat yang baik berdasrkan atas pelaksanaan ajaran
dharma. Itulah kayika, wacika, manacika.
Bila ketiga-tiganya sudah kokoh,
maka disebut tri kayaparamartha. Demikian kata sang pandita. Apakah lagi yang
patut sang sadhaka renungkan tentang trikaya itu? Apakah syarat untuk menuruti
dharmanya? Mungkin demikianlah pertanyaan sang sadhaka.
Om inilah pegangannya. Hendaknya
ia mengetahui perilaku sang sadhaka bila sudah menjadi dan upadhyaya. Ia harus
mantap bekerja, ia harus terdorong memperhatikan segala jenis kerja, Ia selalu
meningkatkan membuat yadnya, puja dan japa. Ia selalu memuja Bhatara, selalu
mendalami sastra agama dan mengajar, membuat yasa dan kirti, sopan menerima
tamu sadhaka, selalu memberikan sedekah yang diperlukan untuk beryoga dan
bersemadi memusatkan pikiran, selalu melaksanakan Siwasmarana (pemusatan
pikiran pada Bhatara Siwa). Demikianlah perilaku sang sadhaka yang telah
menjadi dang upadhyaya.
Inilah sifat kata-kata yang
patut disampaikan olehnya. Yaitu membicarakan tentang pemujaan para dewa dan
pujian kepada Brahmana, lebih-lebih lagi pujian kepada pandita senior yang maha
bijaksana, menghafalkan perihal ucap-ucap sastra agama, memberikan pelajaran,
memperbincangkan segala macam ilmu pengetahuan dan mengkaji pengetahuan
filsafat dan ajaran agama, selalu (?) mempelajari dan merapalkan mantra-mantra
Weda. Dan ia berkata jujur, setia pada janji dan ia jangan mengeluarkan
kata-kata yang menyakitkan telinga orang, jangan berkata-kata kasar, dan
memfitnah, dan jangan berbohong kepada orang. Dan janganlah menghina orang,
jangan mencerca kerja dan sifat brata sesama sadhaka. Hanya kata-kata yang
benarlah dan kata-kata yang manis, lemah lembut, menarik hati dan bersahaja
yang harus ia ucapkan. Demikianlah kata-kata yang sebarusnya disampaikan oleh
dang upadhyaya.
Inilah sifat-sifat sang sadhaka
yang telah menjadi dang upadhyaya yang harus ditegakkannya. Yaitu pikiran yang
bersih, setya, budiman, tenang, tangguh, dan pengampun yang harus dipegangnya
teguh dan kuat, beralaskan keteguhan hati, selalu lapang hati, mendasarkan
mentri, karuna, mudita dan upeksa dan sayang kepada orang.
Janganlah ia curang, licik,
sombong, mabuk, congkak, loba, binggung. Dan janganlah ia cepat naik darah,
galak terhadap teman sadhakanya, janganlah ia keras kepala, iri, busuk hati,
cemburu kepada temannya sesama sadhaka. Janganlah durhaka, menghina dan tekebur
terhadap temannya sesama sadhaka dan sesama dang upadhyaya. Hanya keikhlasan
yang mendalam, budi baik, hormat, jujur saja yang menjadi budi sang
sadhaka merasa pada seorang dan berlanjut pada yang lain-lain kepada temannya
sesama sadhaka.
Demikianlah budi dang upadhyaya.
Hanya yang demikian itu sajalah hendaknya dipegang teguh oleh sang sadhaka
sebagai sarana diksa ? Barangkali demikian pertanyaanmu. Begini ! Jangan juga
terburu-buru berbuat, tunggu pula sebentar walaupun perilaku dan disiplin sang
sadhaka sudah meyakinkan dan kuat, lebih-lebih pula sudah menyelesaikan
tugas-tugasnya, namun walaupun demikian jangan juga terburu-buru berbuat.
Hendaknya usianya ditunggu,
teliti muda umurnya sang sadhaka dan kematangan umurnya. Singkatnya, janganlah
sang sadhaka buru-buru didiksa. Perkirakan muda umurnya dan muda umur
isterinya. Berbahaya akan mendapatkan bahaya bila melaksanakan pemberian diksa,
bila ia belum mengatasi hal-hal yang demikian itu.
Adapun tujuan menunggu itu ialah
sempurnanya perkembangan jasmaninya untuk mulai bertindak. Adapun batas
umurnya, bila ia sadhaka keturunan dari yang sudah didiksa. Bila ia tidak
kekerasan dari yang sudah didiksa, maka batas umurnya ialah enam puluh tahun
baru ia dapat melaksanakan diksa. Kesimpulannya janganlah sang sadhaka,
menjalankan diksa, bila masih muda dan isterinya juga masih muda. Janganlah
melaksanakan diksa bila isterinya belum berhenti datang bulan. Bila
kedua-duanya sudah cukup tua umurnya, maka ia dapat melaksanakan diksa.
Demikianlah wala (=jaminan?)nya
untuk melaksanakan diksa. Apabila telah tiba usia sang sadhaka dan cukup tua
usianya maka pada waktu itulah ia melakukan diksa dan jangan ragu-ragu.
Hadapilah yang berpudgala dan
alat-alat diksa itu, mengenakan pakaian upacara diksa, membuat Dewagrha,
kundha, sthandila, menghadapi alat-alat Siwapakarana, seperti bhasma, ganitri,
guduha, kundala, wulang hulu, brahma sutra, ambulungan, pawawahan, camara,
argha, tripada, sangka, ghanta, dan jayaghanti.
Setelah lengkap semuanya itu,
hadapkan sisia itu sebelum upacara. Kemudian tunggulah sebentar. Orang yang
datang hendak mendiksa supaya dipilih terlebih dahulu. Jangan asal sisia,
jangan tergesa-gesa menjadikannya wiku. Adapun sang sadhakadalam meneliti
macam-macam sisia yang boleh didiksa adalah sebagai berikut, bersifat sosial,
orang bijaksana, setia pada ucapannya, yang memiliki kesusilaan, teguh
pendirian, setia bhakti terhadap suami, teguh pada dharma tanpa noda. Demikian
macam orang yang dipilih menjadi sisia. Keturunan orang suci, sangat suci
keturunannya, orang yang setia terhadap ucapannya, tidak berbohong, pandai
dalam ilmu, orang yang benar-benar berjiwa besar, orang mulia, suci, berjiwa besar,
orang yang susila, tegas dalam hal siasat, orang yang kuat menahan suka dan
duka, orang yang setia terhadap atasan, apalagi terhadap orang tua, orang yang
gemar melaksanakan ajaran dharma, orang yang teguh melaksanakan tapa,
demikianlah macam orang yang dijadikan sisia yang patut didiksa.
Adapun macam orang yang tidak
boleh didiksa adalah sebagai berikut. Meskipun brahmana keturunan bhasmangkara,
orang itu jangan didiksa. Ingat tak boleh didiksa oleh nabe, seperti dibawah
ini, yaitu : orang yang kapatita, orang yang jatuh sebagai walaka, orang cacat
tubuh, orang yang sangat menderita.
Cuntaka janma berarti orang
hina, seperti orang yang dijadikan kurban, orang yang dijadikan sesaji, orang
yang diserahkan pada waktu melakukan upacara sawa widhana, asti widana, tukang
pemikul mayat, pembawa pencuci muka mayat, penadah darah, penadah barang naziz,
orang belian, dibeli hidupnya pada waktu dihukum, orang yang dihukum
penjarakan, dirantai, digantung, dipasarkan, orang yang gagal dibela, batal
ditusuk, telah dibawa kelapangan kuburan, catuspata, orang yang ditenggelamkan
bersama pasir, dihukum pancung, ditenggelamkan ke dalam air, dibakar,
orang yang belum mati, seperti : tenggelam jatuh ke sumur, jatuh kekakus, orang
yang disiram kepalanya dengan mutra dan kotoran manusia, orang yang disiram air
jemuran perempuan, orang yang dibungkus cawat oleh orang hina, orang tembha
diising disiram air kencing, juga yang dimelangan kotoran kencing, orang yang
ditapak, ditempeleng kepala dan mukanya dengan cemeti, diikat dan dijambak
rambutnya. Semuanya itu cuntaka janma namanya.
Orang yang menyembah terhadap
orang yang hina, memakan makanannya, digunting rambutnya, (dan) juga yang
diguyur (rambutnya) orang yang menyembah kepada oang cuntaka, menyembah kepada
tapadhara, orang yang berlindung kepada orang yang nista, orang yang memikul
bangku tempat duduk yang sedang ada yang menduduki, tukang pikul palana,
padaraksa, jemuran, tikar, tikar permadani. Semua itu patita namanya dan segala
orang sadigawe.
Sadigawe berarti turut dengan
adhah kriya. Adhah kriya berarti segala yang sudra, candala dan mleca. Sudra
berarti orang banija krama dan wulu-wulu. Banija krama berarti berdagang,
alampuran, atasana, apalya, buncangaji.
Segala yang menjual belikan
dagangannya, bajija namanya. Andhyun, angendhi, pan nya, banija namanya.
Andhyun, angendhi, pande segala
macam pande, undagi, amaranggi, jalagraha, mengukir, melukis, mengapus,
menjahit, membuat wayang, menmon, ijo-ijo, ang godha, amidhu, apacangah,
araktan, semua itu wulu-wulu namanya.
Candhala berarti memahat,
menjagal, melempar, memutar, mencungkil, mendulit, memukul, membudak, semua itu
candhala namanya.
Mleca berarti paandai emas,
dukun suratman, warung kedhi, juru rurih, semua itu mleca namanya. Demikian
pula kalau ada keturunan brahmana ikut dengan pekerjaan orang sudra, candhala
dan sebagainya, orang seperti itu, manusia sandigawe namanya, sebab salah
hurara namanya.
Manusia kuci angga berarti orang
cacat tubuhnya, seperti orang wwal, oarng bungkuk, kayang, kerdil, drmidari,
lampang, bule, belang, lampir, wiwang, semua itu kuci angga namanya.Maha duhka berarti orang yang menderita
tubuhnya oleh karena sengsara, seperti orang kusta, gila, ayan, menju, lajwa,
wlu, dhusul, bwalen, busung, tahi panden, kesakitan, apalagi yang buta, tuli,
bisu, cungik, umbung, tlihen, timpang, kejang, pingker, keteng. Demikianlah
namanya cacat menderita. Itulah manusia maha duhka keadaannya. Segala orang
seperti itu, manusia durlaksana namanya.Tidak
patut dijadikan sisia dan dipodgala.
Kesimpulannya, jangan didiksa
oarang-orang itu oleh dhang guru sebab jangankan mendapat pahala, bahkan
mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya. Itulah sebabnya
jangan sang sadhaka memberi diksa orang durlaksana.
Sebagai tambahan, janganlah sang
sadhaka mendiksa orang yang telah didiksa oleh dhang guru yang lain, didiksa
oleh sadhaka yang belum krrta diksita. Jangan mendiksa orang yang telah
melakukan upacara suci, memohon restu kepada tapodhara. Tidak benar tingkah
seperti itu, menumpuki upacara namanya. Lagipula janganlah dhang guru mendiksa
orang keturunan biasa, bukan brahma wangsa dan bukan bhasmangkara.
Brahma wangsa berarti keturunan
brahmana, putra putra pandita sejati, itulah brahma wangsa namanya. Bhasmangkara
berarti memang keturunan sadhaka, berasal dari pandita Siwa Budha, apakah itu
anak, cucu dan juga keponakan, itulah yang disebut bhasmangkara. Orang yang
lain dari itu, orang biasa namanya, tidak boleh diupacarakan seperti yang
berlaku bagi sadhaka. Namun jika keras keinginannya berguru, didiksa juga oleh
sang guru namun jangan dipudgala. Upacara sederhana saja. Hanya mendapat restu
saja. Kapunta caraka gelarnya. Tidak ikut disebut sadhaka, tidak memakai
cikadhara dan tidak mengenakan upacara pandita Siwa. Apakah bahayanya mendiksa
orang kebanyakan ?
Betapa dosanya kalau
menjadikannya sadhaka, agar engkau ketahui bahayanya. Kalau ada dhang upadhyaya
melakukan diksa kepada orang kebanyakan, dunia menuju maha qiamat dan negara
menjadi hura-hura. Sebenarnya ia disidangkan oleh para dhang Acarya seluruhnya
dan bersama dengan dhang Acarya Pandita senior. Mintalah kepada sidang
pertemuan, berkumpul dalam sidang umum, memecahkan tentang hukum pandita Siwa
dan mengenal tata laksana Pandita Siwa agar diperdengarkan kepada sadhaka,
semua. Adapun tujuannya adalah adanya ketidak tentraman melakukan perbuatan
seperti itu. Jatuhkan hukuman pada guru maupun sisianya, karena merusak
gurunya. Dikucilkan oleh para sadhaka semua, dicabut gelarnya karena melanggar
pensucian. Kembalikan namanya menjadi walaka. Cabut kewajibannya beserta alat
upacara siwanya. Setelah dihapuskan semuanya, kemudian inilah yang dilakukan
oleh raja. Supaya dibuang, disuruh pergi keluar wilayah jangan diperkenankan
bertempat tinggal dipulau jawa. Demikianlah cara menghukum gurunya.
Adapun muridnya, ikat dalam
dengan duri kaktus, supaya dibuang oleh raja kelaut memakai sampan. Setelah
sampai ketengah laut pancung kepalanya, pisahkan dari tubuhnya. Badan dan
kepalanya, buang ketengah samudra. Nah demikian dosanya memberi nama diksa dua
kali. Tak dapat tiada akan mendapat papa sengsara. Kesimpulannya, ikhlas hati
sang sengsara. Kesimpulannya, ikhlas hati sang sadhaka yang berjiwa bijaksana
tetap tegak seperti gunung. Demikianlah hendaknya.
Setelah selesai hal itu, marilah
kita bicarakan sekarang tentang orang-orang yang benar-benar suci dan
bijaksana, setelah ia memikirkan masak-masak terhadap orang yang patut
dijadikan sisya.
Hendaknya engkau jangan
ragu-ragu melaksanakan diksa suci secepatnya. Hadapi pudgala itu. Teruskan
melakukan diksa. Banyak atau sedikit. Mungkin engkau mempunyai banyak sisia,
namun janganlah sampai engkau lupa pada kewajiban sebagai sadhaka yang
dijadikaan guru. Tingkah lakumu perlihatkan kepada dunia bagaimana dharma sang
sadhaka yang menjadi guru yang patut diikuti.
Agar engkau ketahui, saya
memperingatkan. Nah inilah kewajiban sang sadhaka guru. Membicarakan kewajiban
sisia dan pudgala. Memberikan pekerjaan, memperingatkan kepada para sisia yang
benar dan yang salah. Mengajarkan tentang dosa, tingkah laku dan pancasiksa,
melawan guru dan perbuatan sila kepada sisia. Mengingatkan tentang tata cara
dari agamanya. Diusahakan agar memegang teguh kepercayaan kepada
ketentuan-ketentuan agama Siwa agar sama perbuatannya. Janganlah menyimpaang
dari ketentuan itu. Demikianlah caranya mengajar kepada sisia dan budhi sang
guru kepada sisianya.
Jangan marah, jangan loba,
jangan mencaci maki, jangan iri hati, jangan khianat kepada sisia. Lobha
berarti ingin memiliki benda kepunyaan sisia. Parusya berarti lancang tangan
berarti memukul, menerkam, menempeleng kepada sisia. Lancang mulut berarti
mengajarkan yang menyakiti telinga, menyebar fitnah kepada sisia, irihati,
dengki, sakit hati terhadap orang lain, cemburu, menanamkan irihati kepada sisia.
Derohi berarti berusaha mencelakakan sisia yang menyebabkan suka membunuh dan
membenci. Murka berarti, dusta, jahat, mabuk, tinggi hati, pikiran kotorlah
yang menjadi sahabatnya. Selalu membayangkan kepada sisianya. Ingsa karma
berarti merencanakan untuk membunuh, termasuk pembunuhan, ingin menikmati tanpa
menghadapi kesulitan. Raga berarti merencanakan untuk menjadikan kepuasan hawa
nafsu, keinginan jahat dengan jalan curang, menghendaki anak gadis sisia dengan
alasan mengawini, melakukan senggama, bercumbu rayu dengan anak istri sisia.
Dwesa berarti berusaha mencelakakan sisia, karena dengkinya ingin menghapus,
menghukum melakukan dosa, berlaku sadis terhadap sisianya. Janganlah sang wiku
melakukan pekerti seperti itu. Hina namanya.
Yang patut engkau lakukan,
adalah, janganlah sang guru berhati kejam, melihat sisia papa sengsara mengidap
derita. Jangan bersikap seolah-olah tidak tahu terhadap sisia yang salah
tingkah laku dan pekertinya. Jangan dibiarkan sisia itu tidak tahu terhadap
kewajibannya. Jangan ragu-ragu memberi teguran kepada sisia. Adalah perbuatan
dosa membiarkan ia jatuh. Jangan menganggap seorang sisia patita jika tidak
jelas faktanya, Jangan cepat-cepat yakin percaya terhadap tingkah laku dan
warta sisia. Jangan tidak percaya kalau benar-benar terjadi bukti dari tingkah
lakunya. Jangan menghukum cambuk sisiamu. Jangan menghukum sisia tanpa
nengetahui tata cara denda dan dosa. Jangan mencegah sisia yang bertingkah laku
baik karena marah dan dengki. Jangan belas kasihan kepada siswa tercela dan
buruk laku yang disebabkan oleh kepercayaan dan kasih sayangmu. Kesimpulannya,
kalau engkau menghukum sisia jangan hendaknya tidak tahu tentang denda dan
dosa. Jangan sampai tidak tahu tata cara yang ditetapkan menurut ajaran agama.
Namun kalau ada sisiamu yang dimarahi oleh sesamanya ditempat umum, jangan
cepat-cepat engkau percaya, terpengaruh oleh sesamanya ditempat umum, jangan
cepat-cepat engkau percaya, terpengaruh oleh bunyi dan tingkah laku para
pencela. Yang patut engkau lakukan periksalah sebaik baiknya. Perhatikan betul
betul dosa yang sebenarnya.
Tanyakanlah, usahakan mengenal
kejujuran kalau tak dapat engkau memeriksa sisiamu, perintahkan kepadanya agar
membuat kutukan diri sendiri itu, dilakukan diastanasiwa, ditempat agni,
didalam kunda ditempat lingga, diparyangan, dikaki Siwa, didepan sang guru dan
keluarga pada waktu bertobat. Setelah bertobat tidak juga percaya oleh gurunya,
karena besarnya celaan yang ditimpakan oleh umum, maka pergilah menjauhkan diri
lagi, melakukan dewasraya, memuja dipuncak batu yang tertinggi, ditempat tirta
utama, ditepi samudra, didalam gua, dihutan dan digunung. Itulah tempat yang
didatangi oleh sisia.
Bila seorang sadhaka dicemarkan
oleh sesama sadhaka, namun tak terhalang sesama sadhaka, namun tak terhalang
selama melakukan dewa sakti, tidak patut ia dihina. Sadhaka yang mencemarkan
tadi hendaknya dibalas juga.
Dihukum oleh keluarganya sebab
sama dengan merusak diksa. Sadhaka yang mencemarkan tadi harus dihukum oleh
gurunya, tak dapat diampuni. Demikian peraturannya, yang tercantum dalam Agama.
Bila walaka yang melakukan
penghinaan kepada dhang acarya, menuduh patita, sedangkan tidak benar tuduhan
itu, hendaknya gurunya mendesak agar sadhaka yang dituduh itu melakukan dewa
saksi menghadap ketimur. Bila tidak nyata kebenarannya, janganlah dihukum oleh
sang guru. Walaka yang menghina itu dihukum oleh raja, dipancung kepalanya,
dipisahkan dari tubuhnya. Darahnya maupun kepalanya dibuang kelaut, dilemparkan
ditengah samudra. Demikianlah hukuman walaka yang menghina terhadap sadhaka ,
merusak diksa sadhaka namanya.
Ada orang menghina sadhaka
dengan menuduhnya bukan keturunan brahmana dan tidak memakai bhasma dengan abu,
namun benar didhiksa keturunan sadhaka itu oleh gurunya, selidikilah tempat
tinggal orang tuanya. Jika benar orang tuanya adalah sadhaka dan (juga) nenek
moyangnya, orang yang menghina itu harus dibalas dengan melaksanakan dhiksa
menghadap ke timur. Dendanya adalah tuna namanya.
Jika wanita menghina terhadap
sadhaka, menuduh rendah derajatnya, menuduh bukan keturunan brahmana dan tidak
melakukan bhasmangkara, menurut peraturan, sang guru menyuruh melakukan Dewa
saksi menghadap ke timur. Jika tidak benar tuduhan wanita itu, wanita tersebut
dihukum raja. Dipotong lidahnya dan bagian ujung hidungnya diberi logam,
ditekan dengan tali besi yang sedang membara. Giring agar dilihat orang banyak.
Diikat dipinggir jalan. Jangan terbatas penyebab kematiannya.
Om Santih Santih Santih
Om
Salinan Lontar Siwa Sasana Oleh:
I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)- Bekasi
Disampaikan sebagai Bahan
Penataran Terpadu Calon Pinandita, Serati Banten & Ketua Adat Se-Sumatera
Selatan, 15-20 Juli 2009
No comments:
Post a Comment