BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Hindu merupakan agama tertua
di Dunia dan memiliki sifat yang universal dan flexiblelitas yang tinggi.
Permulaan berkembangnya agama ini dimulai dari Jambu Dwipa yaitu negara India.
Dalam penyebarannya, Agama Hindu dipelopori oleh Para Mahayogi/maharsi yang
dimana beliau adalah orang-orang yang menerima langsung ajaran-ajaran Agama
dari Tuhan yang kemudian diajarkan kepada umat manusia.
Dalam penyebarannya, agama Hindu
dimulai dari daerah tetangga India, dan lama-kelamaan menyebar keseluruh dunia.
Dalam hal ini ada banyak pemeran dalam penyebaran Agama Hindu seperti halnya
para pedagang dari Indi, mereka menyeberang lautan, dan singgah di
negara-negara konsumen, sembari berdagang, para pedagang india mengajarkan
ajaran Agama hindu, selain itu
Penyebaran Agama Hindu juga dilakukan oleh para brahmana yaitu guru-guru
spiritual yang melakukan suatu perjalanan jauh, dan di tempat persinggahannya
mereka membuat suatu Pesraman dan disanalah para maharsi mengajarkan Agama
Hindu.
Di Indonesia masuknya Agama Hindu
diawali dengan berdirinya Kerajaan-kerajaan Hindu yaitu dimulai dari Kerajaan
Kutai yang merupakan kerajaan pertama di Indonesia dan juga bercorak
Hindu.Seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan Hindu di Indonesia semakin
meluas sampai ke pelosok-pelosok daerah. Jaman Kerajaan Majapahit adalah puncak
kejayaan Kerajaan Hindu di Indonesia dan sekaligus kerajaan Hindu terakhir di
Indonesia setelah berhasil druntuhkan oleh Kerajaan agama lain.
Namun perjalan Hindu tidak berakhir
seperti halnya Kerajaan majapahit yang runtuh, setelah runtuhnya kerajaan
majapahit, sebagian dari pemeluk agama Hindu di Jawa berhasil menyelamatkan
diri ke Bali bersama dengan ajaran-ajaran yang dibawa. Di Balilah Agama Hindu
berkembang pesat dan hampir 99 % penduduknya memeluk Agama Hindu. Berkembangnya
Agama Hindu di Bali juga tidak lepas dari ajaran-ajaran Agama Hindu yang masuk
bersama masuknya para tokoh Hindu ke bali.
Dalam karya tulis ini penulis
mengambil judul " Masuknya Agama Hindu Oleh Para Maharsi
Ke-Bali " yang dimana nantinya akan membahas tentang perkembangan
Gama Hindu di Bali, tokoh-tokoh penyebar Agama Hindu di bali, dan perkembangan
Agama Hindu setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu di Bali.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Awal Perkembangan Agama
Hindu di Bali ?
1.2.2 Siapakah Tokoh-Tokoh
yang Berperan dalam Penyebaran Agama Hindu di Bali ?
1.2.3. Bagaimana Perkembangan Agama Hindu
Setelah runtuhnya Kerajaan kerajaan di Bali sampai sekarang ?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mendeskripsikan Awal
Perkembangan Agama Hindu di Bali
1.3.2 Untuk mendeskripsikan
Tokoh-Tokoh yang Berperan dalam Penyebaran Agama Hindu di Bali
1.3.3 Untuk mendeskripsikan Perkembangan
Agama Hindu Setelah runtuhnya Kerajaan-kerajaan di Bali sampai
sekarang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Awal Perkembangan Agama
Hindu di Bali
Masuknya agama Hindu di Bali
diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai
fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta.
Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang
memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan
berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu
menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......”
yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu
kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad
ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali.
Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah
berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu.
Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya
melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva
Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti
lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya
arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut
merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal
dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni
arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang
memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu
Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di
Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan
Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut
sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan
terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga
lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana
Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama
Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang
menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha
Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar
di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di
pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum
Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan
peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini
mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan
Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara.
Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama
Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan
bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti
diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa
tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10
dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan
Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi
di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa
Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan
dikembangkan di Bali. Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut
sekta. Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris
(1926) dalam (http://kodoknyitnyit.blogspot.com ) jumlahnya 9 sekta, yang
terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata),
Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di
Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu,
Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya
yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva
Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain:
Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga,
Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para
pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama
bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Masa Bali Kuno ini berakhir dengan
pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi
Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini
(antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat.
Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu
Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata
kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini.
2.2 Tokoh-Tokoh Penyebaran Agama Hindu di Bali
Dalam perkembangan Agama
Hindu di bali terdapat enam tokoh suci yang sangat berpeerran penting. Keenam
tokoh suci itu antara lain:
2.2.1. DANGHYANG MARKANDEYA
Ilustrasi Maharsi Markandeya
Rsi Markandeya adalah seorang Maha Yogi
yang sangat utama yang berasal dari keturunan warga Bregu. Bheghawan Bregu
adalah keturunan dari Hyang Jagatnatha yang bergelar Sang Hyang Ratnamaya.
Beliau adalah putra dari Sang yang Tunggal yang menjaga dan menguasai dunia
seluruhnya. Dikisahkan, Salah satu keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang
Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra
bergelar Sang Hyang Meru.
Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang
Ayati dan adiknya Sang Niata. Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana ,
dan Sang Niata mempunyai putra bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri
seorang gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan
Sang Maharsi Markandeya. Rsi Markandeya sangat tampan da mempunyai banyak ilmu,
Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra
seorang bergelar Hyang rsi Dewa Sirah.Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari.
Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa (
India). Dan Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah
selatan India di bagian timur Nusantara dengan beberapa murid beliau yang telah
siap turun gunung. Perjalanan beliau pertama menuju Gunung Dumalungdi Hyang
yang disebut gunung Hyang atau Dewata.
Namun disana sudah ada pertapaan
Sang Ila putra Rsi Trenawindhu yang merupakan murid dari Sang Hyang Maharsi
Agastya. Yang telah bertapa di tanah Jawa dan telah berbaur dengan Sapta Rsi di
sana. Dan itulah sebabnya Hyang Mahayogi Merkandeya pergi ke tempat lain yaitu
Gunung Raung,Jawa timur. Disana beliau bertapa dan membangun pesraman,dan pada
suatu hari Belau mendengar Sabda Dari Akasa Dan melihat sinar menjulang ke
Akasa, Sabda didengar dari leluhur Beliau Hyang Jagatnatha, dan Sabda itu
memerintahkan Mahayogi Markandeya pergike arah timur yaitu Balipulina. Sebelah
timur Tanah jawa, dan di Sabdakan itu karena di Bali Pulina ada Stana Para Dewa
yaitu di Gunung Tohlangkir ( Gunung Agung).Yang pada saat itu disebut Giri
Raja,Dalam Sabda beliau mendengar bahwa Gunung itu adalah potongan Gunung Maha
Meru yang di bawa hyang Pasupati untuk memngunci Dunia saat itu.
Akhirnya Mahayogi Markandeya pergi kea
rah Timur Bali sesuai sabda dengan pengikutnya sebanay 400 orang, Namun dalam
perjalanan pertama ini, beliau mendapat Halangan semua pengikutnya meninggal
terserang penyakit, Karena mendapat halangan Beliau kembali ke Gunung Raung
Jawa, bersemedi untuk mohon petunjuk, Dari hasil semedi beliau mandapat wahyu ,
kalau ingin selamat dalam perjalanan Dharmayatra ini Harus menanam Panca Datu
sebagai dasar Yadnya untuk keharmonisan dengan alam Bali ini. Seterusnya beliau
melakukan perjalanan ke dua kali dengan pengikut 800orang .Beliau berkehendak
berdharmayatra menyebarkan ajaran ajaran Tri Sakti paksa, terutama Waisnawa Paksa
segala aturan Tatacara upacara dan upakaranya. Dan Pada perjalanan ke dua ini.,
beliau menghaturkan Yadnya berupa penanaman Panca Datu di Gunung Tohlangkir,
sekarang disebut Besakih.
a.
Jejak Maha Rsi Markandeya di Bumi Parhyangan
Pura
Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan
ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal
di Payangan.
Kecamatan
Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini
lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci.
Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan
jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri Tirai
Bambu, Cina, banyak bertumbuhan. Di balik potensi pertanian yang dimiliki,
kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki
banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura
tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar
hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu
tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba
sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan
jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa
Bhumi. Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa
Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini
memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi
Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti
banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya
Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi
Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah
Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke
Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng,
berlokasi di Jawa Tengah. Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan
perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah
Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun
pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali. Di pulau mungil ini
Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci. Di
antaranya Pura Murwa Bhumi. Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di
Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat
pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para
pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan
nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Besar
kemungkinan nama Pengaji diambil dari satu tugas mulia Maharsi Markendya selama
berada di Payangan, yakni memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang.
“Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made
Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa
Bhumi. Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di
Buku Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di
Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura
Dalem Murwa.
Tak beda
jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II,
karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan,
kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan
orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di
hutan. Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan
dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang
itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta
sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi
satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan
Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Tentang
pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada
dijelaskan: Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah
wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang
watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah
wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha
panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna,
Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan
ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit
saking Daksina ka Utara.
Reh
sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang
tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira
araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang
tegal karang paumahan…..,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas
perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan.
Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk
berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan
lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta
pekarangan rumah.
Usai
melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di
satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi
Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar.
Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada,
artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada. Setelah
keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta
memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri.
Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya
lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi
parhyangan, dan kini disebut Payangan.
Tempat di
mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah
sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya
permulaan. Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa
(kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang
bisa dijadikan bukti otentik. Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama
dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai
memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit. Jika
dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa
Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus
memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara
berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas
menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil
bagus.
Tempat suci
yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa
Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan. Di antaranya
palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya.
“Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai
perahu,” kata Ngakan Adnyana. Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa
dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak
yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja,
warga mengganti dengan perahu batu baru.
Selain
tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang
struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu
Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan,
Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam
struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan
jabatan yang dipegang.
b.
Tapak-tapak suci Sang Maharsi
Jejak
perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Balidwipa, banyak meninggalkan atau
ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan
jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman. Tempat-tempat suci
yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki
Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang,
Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi
Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti
perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta
pengikutnya mendapat keselamatan. Lamat-lamat komplek pura Basukian dikenal
dengan nama Besakih.
Berikutnya
ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro,
Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda
pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah
menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi
Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan
pemukiman dan areal pertanian.
Masih di
wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai
tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras,
Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah
pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.
Di kawasan
Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura
Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud,
Kabupaten Gianyar. Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya
kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang.
Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga
sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud
Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah
selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah tenggara
Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci
Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian
diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
“Mwah ri
pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para
sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa….”
Artinya : “Di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah
Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti
sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa”.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan
(Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini,
karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci
Murwa (Purwa) Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan
warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali
(Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang
diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.
Setelah berhasil memberikan
pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam
mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang
diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura
Murwa Bhumi. Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu
Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan.
Maka, upacara keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan. Pura Pucak
Payogan,adalah Tempat Yoga Semadi Mahayogi Markkandeya. Dan Tempat ini tempat
beliau moksa sebagai akhir penjalanan Dharmayatra beliau.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah
Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual
bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk
berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti
daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan
biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara
lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng,
tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu,
beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa
bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu
beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh,
Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan
patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat
konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi
Tak
kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari
Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya :
Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah
Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang
telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
Murid
Danghyang Markandeya ini
melanjutkan ajaran sang guru dengan memberikan warna/variasi pada bentuk bebali
yang ada dengan menambahkan dekorasi yang menarik dan beragam sesuai dengan
tujuan bebali itu disajikan dari berbagai jenis dedaunan, buah-buahan,
biji-bijian dan lain-lain sebagai ekspresi mengagungkan Sang Hyang Widhi. Beliau juga mempelopori pembuatan arca (pralingga)
dewa-dewa sebagai media yang membantu umat untuk memfokuskan konsentrasi dalam
melakukan puja demikian pula dengan enetapan hari-hari penting ajaran Hindu
Bali, seperti: Galungan, Kungingan, Pagerwesi, Nyepi dan lain-lain.Dalam
konteks pengaturan bermasyarakat, tata pimpinan yang diperkenalkan beliau
adalah jabatan Dukuh, Prawayah dan Kabayan. Mpu Sangkulputih adalah seorang sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura atau tempat suci lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang
Markandeya.
Setelah
Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual
bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk
berbagai jenis yadnya
(banten) dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya
seperti:
- daun sirih,
- daun pisang,
- daun janur,
- buah-buahan:
- pisang,
- kelapa, dan
- biji-bijian:
- beras,
- injin,
- kacang komak.
- Canang sari,
- Canang tubugan,
- Canang raka,
- Daksina,
- Peras,
- Panyeneng,
- Tehenan,
- Segehan,
- Lis,
- Nasi panca warna,
- Prayascita,
- Durmenggala,
- Pungu-pungu,
- Beakala,
- Ulap ngambe, dll.
Tetandingan
Banten dibuat menarik dan
indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau
mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan
Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai
alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
Tak kurang
pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual
hari-hari raya :
3.
MPU
KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah
ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada
kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali
Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan
sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata,
Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan
(Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai
istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta
berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya
dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan
antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya
ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di
masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa
bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda
pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu,
Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari
Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih
beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana
Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari
jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra
sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di
Besakih.
b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali
pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu
berparhyangan di Gelgel.
c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana
tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6),
candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya
berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari
Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla
(tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu
berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
Sebenarnya keempat orang Brahmana
ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu
Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis,
Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca
Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma
“Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang
dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
a. Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan
yang juga sebagai ketua siding
b. Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
c. Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali
Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu
Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari
berbagai aliran. Tatkala itu semua
hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk
menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau
manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu
menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di
Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan
Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah
bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya
yang masing-masing bernama:
a. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
b. Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
c. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya
Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura
“Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.
Sekaligus dengan dikristalisasinya seluruh sekta tersebut dalam pemujaan kepada
Tri Murti menjadi landasan dalam pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa
Adat di Bali. Sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan,
baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana
tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka
sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu
dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi
beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali
mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di
tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan
Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta
Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi
dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4.
MPU
MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah,
tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari
Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak
kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah
genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin
Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5.
MPU
JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha
Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti
Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk
kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan
pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6.
DANGHYANG
DWIJENDRA
Pada
akhir abad ke – 15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan
karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi
penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah
satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang
beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh
pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau
Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang – orang
Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih
meninggalkan Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan,
Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnyamasih memeluk agama Hindu.
Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan,
seperti : Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan
beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih
untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama
Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali,
selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.Salah
seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang
Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa
pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali
dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali
lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama
Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari
agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak
sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak
di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Telu (Islam Tiga).
Terlepas dari hal tersebut, Danghyang
Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya,
Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama
Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan
menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek
ini Sadasiwalah yang diagungkannya. Untuk itu, dibuatkanlah pelinggih khusus
yakni Padmasana, dari sinilah Sadasiwa atau Tuhan Yang Maha Esa,Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Ada, yang bersifat absolut, dan dipuja oleh semuanya. Oleh
karena itu, setiap pura harus memiliki pelinggih Padmasana.
Dengan demikian Danghyang Nirartha menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali.
Nirartha merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para
pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva
yang agung. Semasa perjalanan Nirartha, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di
Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana.
Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari
Daha, Jawa Timur. Danghyang Nirartha banyak mendirikan Pura – Pura terutama di
daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er
Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang
Nirartha ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang
nirartha juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa
Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok
dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Nirartha dikenal
dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Di Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa
Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan
in Danghyang Nirartha memiliki putra : Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida
Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari danghyang nirarta kepada seluruh
keturunannya, yaitu;
a.
Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca –
arca perwujudan).
b.
Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang
tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya
berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang nirarta melarang semua
keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang
Nirarhta mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang
Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih
padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya setelah mendiksa
semua putra-putranya menjadi pedanda, lalu Danghyang Nirartha menuju Pura Luhur
Uluwatu dan mencapai moksa di sana.
Hingga saat ini, peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura di Bali yang dikenal dengan nama Pura Dang Kahyangan
Hingga saat ini, peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura di Bali yang dikenal dengan nama Pura Dang Kahyangan
2.3
Perkembangan Agama Hindu Setelah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Di Bali Sampai
Sekarang
Perkembangan selanjutnya, setelah
runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat
mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan
adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar,
Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu
Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja,
Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di
Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu.
Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan
piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan
pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya
menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan
karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan
diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita
Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama
dan dengan bumi serta lingkungannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan
tersebut diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait dengan
perkembangan Agama Hindu di Bali sebagai berikut.
1.
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada
abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng
berbahasa Sanskerta. Selain itu ditemukan pula Arca tersebut merupakan satu
tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8
yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan
adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu
Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah
terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar
perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama,
yakni agama Hindu.
2. Adapun tokoh-tokoh yang ikut serta dalam penyebaran
dan pengembangan Agama Hindu di Bali antara lain. Danghyang Markandeya, Mpu
Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Danghyang Dwijendra.
3.
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan
kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha
pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, sampai
terbentuknuya Parisadha Hindu di Bali, sehingga menunjukkan kehidupan agama
Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang
universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan
nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang
harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta
lingkungannya.
3.2. Saran
Adapun saran untuk pembaca diantaranya :
3.2.1.
Agar membaca dengan teliti isi dari karya tulis ini agar tahu betul perkembangan
Agama Hindu di Bali.
3.2.2.
Umat Hindu diharapkan menggunakan Konsep-konsep yang sesua dengan apa yang
telah disetujui oleh tokoh-tokoh hindu di Bali, tanpa mengilangkan budaya yang
telah ada di masing-masing daerah, sehingga akan berkombinasi budaya lokal
dengan ajaran agama Hndu.