Pages

Sunday, 29 June 2014

RUDRAKSA

Rudraksa yang suci terdiri dari 38 jenis dan memiliki 21 jenis gurat wajah/mukhee (guratan pada biji). Tasbih jenis ini sangat bertuah dan bisa mendekatkan seseorang pada Yang Maha Kuasa. Menurut mithologi Hindu, menggunakan Rudraksa berarti pemakainyatelah diberikan semua berkah dari dewa Siva. Benda ini memiliki efek yang luar biasa pada tubuh, pikiran dan jiva bisa menghalau pengaruh buruk dari planet-planet.
Ada sebuah kisah lama tentang keberadaan rudrakasa ini. Dikisahkan bahwa Daitya yang bernama Tripura Sundhara yang tidak bisa dikalahkan. Brahma, Visnu dan para Dewa yang lainnya telah kehilangan akal untuk menghadapi daitya yang maha sakti ini, yang senantiasa mengganggu mereka. Para Dewa kemudian berkumpul dan mendekati Dewa Siva untuk meminta nasehat beliau untuk mengatasi bahaya itu. Dewa Siva memutuskan untuk menggunakan senjata khusus yang dinamakan Aghora. Senjata ini kalau digunakan akan menghancurkan apa saja tanpa terkecuali. Diyakini bahwa senjata ini memiliki efek seperti Bom atom pada jaman sekarang ini. Dewa Siva menggunakan senjata ini untuk menghancurkan daitya Tripura. Selama menggunakan senjata ini Dewa Siva tidak bisa membuka mata, dan ketika mata beliau dibuka, maka tampak basah dan beberapa tetes air mata jatuh ke bumi. Tetesan air mata ini kemudian berubah menjadi tanaman dengan buah yang memiliki 38 jenis yang dinamakan Rudraksa. Dewa Siva dikenal dengan gear Rudra dan air mata dinamakan Aksa. Maka dari itulah benda ini dikemudian hari dinamakan Rudraksa. Dari 38 jenis ini, 12 jenis diidentikan dengan Surya, 10 diidentikan dengan Agni dan 16 jenis identik dengan Chandra.
Wajah/Mukhee (Gurat) Rudraksha
Diyakini, bahwa semakin kecil ukuran Rudraksha, maka semakin besar efek keampuhannya. Tentang kehebatan Rudraksha seringkali dikisahkan dalam kitab-kitab Purana Hindu, seperti Devi Purana, Siva Purana, Skanda Purana, Padma Purana, Lingga Purana dan lainnya. Berikut akan dicoba dijelaskan sedikit tentang apa arti guratan yang terdapat pada Rudraksha:
  1. Gurat Satu. ini adalah biji yang amat langka dan diidentikan dengan dewa Siva. Jika pada benda ini tidak ditemukan gambar Sivalingga, Ular OM, Trisula dan berbagai tanda bertuah lainnya, maka dipastikan bahwa benda itu tidak asli. Manfaat dari menggunakan Rudraksha ini memberikan kekuatan, kekuasaan, kekayaan dan segala kenyamanan hidup.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Aim Hrim Sraum Aim”
  2. Gurat Dua. Diyakini sebagai perwujudan dari dewa Siva dan Parvati. Menggunakannya memberikan anugerah dari kedua dewa. Untuk menyembah dewa Siva, benda ini dianggap yang terbaik. Dan ia juga berguna untuk mengakhiri kebiasaan buruk. Menggunakan benda ini akan sangat membantu dalam berkonsentrasi, kedamaian pikiran, dan untuk pengembangan tingkat spiritual.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Srim Hrim Ksaum Um”
  3. Gurat Tiga. memiliki keampuhan yang sanggup menjaga pemakainya dari segala jenis ketidak beruntungan. Ini sangat membantu mencapai kekayaan dan kecerdasan.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Ra Hum Hrim Hum Om”
  4. Gurat Empat. Diidentikan dengan dewa Brahma. Penggunaannya akan memberkati seseorang dengan kekayaan dan kesehatan yang baik, seseorang akan menjadi lebih spiritual dan mendapatkan tujuan hidup yang terakhir. Menggunakan benda ini akan meningkatkan kecerdasan dan kemampuan berbicara. Ini juga digunakan untuk mendapatkan kemampuan dan manfaat vasikaran, Akarshana dan tujuan seksual.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Vam Kram Tam Ham I”
  5. Gurat Lima. Dianggap lebih berkhasiat dan diidentikan dengan Panca rahma, penggunaannya akan memberikan berkah yang sama dari dewa Siva. Benda ini identik dengan moksa dan pemenuhan segala keinginan dan menjauhkan pemakainya dari segala keinginan.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Hrim Am Ksamyaum Svaha”
  6. Gurat Enam. diidentikan dengan Kartika, beberapa sumber mnyatakan ini identik dengan dewa ganesha. Keduanya adalah putra dewa Siva. Jika yang mengenakannya seorang laki-laki, hendaknya dikenakan di lengan kanan. Ini akan menganugerahi pemakainya dengan segala kenyamanan hidup. Secara khusus, benda bertuah ini akan menganugerahi kekuatan sidhi dan kesuksesan dalam bisnis dan sebagainya.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Hrim Srim Klaim Saum Aim”
  7. Gurat Tujuh. Dinamakan Anata dan dewa penguasanya adalah Tujuh Rsi (Sapta Rsi). Ini akan memberkati pemakainya dengan kehormatan, kekayaan dan kekuatan spiritual. Orang yang terlibat dalam penyelundupan emas (korupsi), kebanggaan berlebihan dan dosa lainnya hendaknya menggunakan rudraksa ini.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Hrim Krim Hrim Sam”
  8. Gurat Delapan. diidentikan dengan Ganesha dan penggunaannya sangat ampuh. Ia menganugerahi pemakainya dengan segala kenyamanan hidup dan menyucikan dosa yang didapatkan dari hasil melakukan hubungan intim dengan banyak wanita.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Hram Grim Lam Am Srim”
  9. Gurat Sembilan. diidentikan dengan Bhairon, Yama dan Kapila Muni. Yang memilikinya akan menikmati kekayaan dan kenyamanan dalam kehidupan keluarga, kesejahteraan untuk anak dan pemenuhan segala keinginan dan harapan. Ini juga melambangkan Maheswari Durga uang memiliki sembilan wajah.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Hrim Van Yan Ran Lan”
  10. Gurat Sepuluh. diidentikan dengan dewa Visnu atau Janardana. Pemakainya akan terlindung dari segala pengaruh buruk planet-planet, pengaruh jahat berbagai roh halus dan sebagainya. Dalam ritual Tantra, benda ini mendapatkan tempat khusus. Orang yang mengenakannya diselamatkan dari berbagai sarana atau serangan Tantrik, seperti Maran, Mohan dan juga Akala Mrtyu (kematian tidak pada waktunya) Pemakai Rudraksha ini akan terberkati dalam segala bidang.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Srim Hrim Kalim Srim Aem”
  11. Gurat Sebelas. diidentikan dengan dewa Indra. Diyakini bahwa Rudraksha ini sangat ampuh karena didalamnya tersimpan gabungan dari sebelas dewa. Benda ini biasa digunakan untuk tujuan Mohan dalam Tantra.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Rum Mum Mum Yum Aum”
  12. Gurat Duabelas. diidentikan dengan dewa Visnu, dinyatakan dalam duabelas dewa yang menjadi penunggunya. Penggunaannya akan menuntun pada kenyamanan pekerjaan, kedudukan dan berkah dari semua dewata. Mereka yang menggunakannya tidak akan takut dengan pencuri, api dan halangan lainnya. Benda ini dianggap sebagai penghapus dosa yang terbaik digunakan sebagai mela dengan jumlah biji sebanyak tigapuluh dua sama dengan jumlah gigi manusia.
    Mantra untuk mengenakannya: Om Hrim Srim Dhrnih Sri”
  13. Gurat Tigabelas. jika Rudraksha jenis ini ada, maka dianggap sangat bertuah. diidentikan dengan para Visvedeva. Pemakainya akan mendapatkan moksa, menaklukan semua keinginan, ambisi dan akan diberkati dengan kesehatan yang baik, kekayaan, kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Ini juga memiliki sidhi dan seseorang bisa membuat orang lain menjadi tertarik.
    Mantra untuk mengenakannya: Om I Yam Apa Aem”
  14. Gurat Empatbelas. diidentikan dengan dewa Siva. Diyakini juga bahwa ini identik dengan Hanumanji. Sarana ini menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Ini menganugrahi segala kenyamanan hidup dan kedudukan yang tinggi dalam politik dan pelayanan. Selain itu ini akan berguna untuk menghilangkan efek buruk berbagai planet dan memberikan kemenangan atas musuh-musuh.
    Mantra untuk mengenakannya: “Om Sphe Khavphe Haratraum Hasavpa”
Sumber: Rahasia Yantra, Mantra dan Tantra oleh Dr. L. R. Chawdhri

Thursday, 19 June 2014

Bale Gading dalam Upacara Potong Gigi ( Mepandes )

BAB I
PENDAHULUAN


1. 1 Latar Belakang
Bambu pada umumnya telah dikenal masyarakat luas. Bambu merupakan produk hasil hutan non kayu yang telah dikenal bahkan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat umum karena pertumbuhannya ada di sekeliling kehidupan masyarakat. Orang Perancis menyebutnya sebagai “Giant grass” (si rumput raksasa). Rumput raksasa ini tersebar luas di bumi pertiwi ini. Bambu banyak digunakan masyarakat dalam memenuhi kehidupan sehari-hari meliputi kebutuhan pangan, rumah tangga, kerajinan, konstruksi dan adat istiadat. Bambu memiliki multi fungsi pemanfaatan sebagai bahan makanan untuk manusia (Rebung), binatang (pucuk daun muda), kebutuhan rumah tangga dan aneka kerajinan dengan berbagai tujuan penggunaan mulai dari cinderamata, mebel, tas, topi, kotak serba guna hingga alat musik serta konstruksi untuk pembuatan jembatan, aneka sekat, konstruksi rumah meliputi tiang, dinding, atap dan kebutuhan adat istiadat. Bambu digunakan dalam upacara adat Hindu dan Budha diantaranya untuk upacara kremasi jenazah dan upacara Manusa Yadnya (Dinas Kehutanan, 2008).
Bagi masyarakat Cina, bambu dianggap sebagai salah satu jenis tumbuhan mulia. Ratusan tahun yang lalu, seorang penyair Cina terkenal, Pou-Sou-Tung, mengungkapkan bahwa suatu makanan harus memiliki daging, sedangkan rumah harus memiliki bambu. Tanpa daging kita bisa kurus, sedangkan tanpa bambu kita bisa kehilangan ketentraman dan kebudayaan. Suatu ungkapan yang mengagungkan tumbuhan bambu, karena begitu pentingnya fungsi bambu bagi kehidupan masyarakat Cina (Kompas, 2006).
Di Indonesia sendiri bambu paling banyak dibudidayakan di pulau-pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Bambu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Hindu di Bali untuk keperluan dan kelengkapan upakara-upakara dalam upacara yadnya. Berbagai jenis bambu dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap dalam upacara yadnya. Terdapat satu jenis bambu yang digunakan dalam upacara Manusa Yadnya yaitu bambu kuning atau dikenal juga dengan tiying gading oleh masyarakat Hindu di Bali (LIPI, 1977).
Pemanfaatannya Bambu kuning atau tiying gading dalam upacara keagamaan di Bali tidaklah sebanyak bambu-bambu lain seperti bambu tali, bambu betung, dan bambu ater, sehingga pembudidayaan terhadap bambu kuning ini pun tidak sebanyak jenis bambu yang lain. Namun meskipun demikian tiying gading ini tetap ditanam dibeberapa pekarangan rumah penduduk di Bali. Selain memiliki nilai estetis yang tinggi karena dapat dijadikan tanaman hias, bambu kuning juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan berbagai perangkat upacara keagamaan oleh umat Hindu. Penulisan mengenai perangkat upacara dalam ajaran agama Hindu, sangatlah sulit dibayangkan, di samping itu mengenai sumber-sumber sastranyapun sangat sulit didapatkan dan termasuk langka. Perangkat upacara itu sesungguhnya adalah merupakan kebudayaan Hindu, sepantasnya harus dilestarikan, karena perangkat tersebut merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang diimplementasikan secara nyata dan tergolong dalam upacara/ upakara dari kerangka agama Hindu. Di samping itu perangkat-perangkat tersebut menjadi atribut-atribut atau simbol-simbol yang memiliki makna keagamaan yang telah membudaya dari sejak dahulu kala sampai sekarang, yang patut dipertahankan. Untuk mempertahankan ini melalui satu cara yaitu mengungkapkan maknanya ke dalam satu tulisan agar bisa dipakai sebagai bahan informasi dan menjadi dasar penghayatan dari semua lapisan umat Hindu untuk diamalkan secara benar (Sudarsana, 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini peneliti ingin mengungkapkan pemanfaatan tanaman bambu kuning yang dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Hindu yang ada di Bali sebagai kelengkapan pada upacara-upacara yadnya yang ada di Bali khususnya pada pembuatan bale gading dalam Manusa Yadnya terutama dalam Upacara Potong Gigi (Mepandes).




1. 2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Taksonomi dan Morfologi Bambu Gading ?
1.2.2. Apa Pengertian Bale Gading ?
1.2.3. Bagaimana peranan Bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading ?
1.2.4. Bagaimana Fungsi Bale Gading dalam upacara Potong Gigi ?
1.2.5. Bagaimana Mitologi Bale Gading ?


1. 3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui Taksonomi dan Morfologi Bambu Kuning.
1.3.2. Untuk mengetahui Pengertian Bale Gading.
1.3.3. Untuk mengetahui peranan Bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading.
1.3.4. Untuk mengetahui fungsi Bale Gading dalam upacara potong gigi.
1.3.5. Untuk Mengetahui Mitologi Bale Gading.

1. 4 Manfaat
1.4.1 Diharapkan dapat lebih membuka pemikiran masyarakat tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes)
1.4.2 Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan pedoman dalam mata kuliah etnobotani.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Taksonomi dan Morfologi Bambu Kuning
Bambu kuning merupakan tumbuhan yang berasal dari Dunia Lama, khususnya dari kawasan Asia tropis. Jenis ini diyakini sebagai bambu yang paling banyak dibudidayakan di seluruh penjuru kawasan tropis dan subtropis. Dikawasan Asia Tenggara, bambu jenis ini banyak dibudidayakan dan kadang tumbuh dimana saja. Di Indonesia bambu ini banyak terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi (LIPI, 1977). Bambusa vulgaris Schrad ini memiliki 2 varietas yaitu yang hijau dan yang kuning. Kedua varietas ini memiliki nama daerah masing-masing, varietas yang hijau secara umum di Indonesia disebut bambu ampel; pring amper, aor, haor di Jawa; awi ampel, aor, haor untuk di Sunda; gurung di Manggarai; guru di Bajawa; oo todo di Bima; au dian di Tetun. Sedangkan varietas yang kuning di Indonesia sering disebut bambu kuning; pring kuning di Jawa; awi koneng, haor koneng di Sunda; oo muncar dio Bima;dan tiying gading di Bali (Widjaja, 2001 ).
Habitat tumbuhnya di daerah yang sangat kering dan lembab dan dapat tumbuh pula pada daerah yang tergenang air 2-3 bulan (Widjaja, 2001). Bambu kuning sangat mudah beradaptasi di tanah marjinal atau di sepanjang sungai, tanah genangan, pH optimal 5-6,5, serta di daerah-daerah pada ketinggian 1200 m dpl (meter diatas permukaan laut), paling baik pada dataran rendah. Oleh karenanya jenis ini tidak jarang dijumpai di pematang sawah. Jika bambu kuning dipotong dengan mudah dapat tumbuh kembali. Perbanyakan bambu dapat dilakukan dengan menggunakan rhizoma, stek cabang atau batang, cangkok dan kultur jaringan. Dan cara penanaman yang paling baik ialah dengan rimpangnya. Buluh bambu ini sangat kuat namun demikian jenis bambu ini tidak tahan terhadap serangan serangga pengerek batang. Bambu kuning memiliki rumpun simpodial tidak rapat dan tidak teratur serta tumbuh tegak (Soedjono, 1991).
2.2.  Pengertian Bale Gading
Bale gading terdiri dari dua kata, yaitu “Bale” dan “Gading”, ‘Bale’ merupakan suatu kata yang diucapkan untuk menunjukkan suatu bangunan yang dibuat oleh manusia sebagai tempat sesuatu sesuai dengan fungsinya, sedangkan ‘Gading’ dapat diartikan menjadi dua yaitu; gading yang menunjukkan taring daripada gajah, dan gading yang menunjukkan tentang warna kuning. Bale gading ini dibuat dari bambu kuning dengan bentuk segi empat bujur sangkar memiliki atap, menyerupai bangunan biasa dan bale ini dihias serba kuning dengan bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya seperti pengider-ider, pajengan dibuat dengan warna serba kuning, memiliki pintu sehingga kelihatan seperti bangunan emas. Bale gading memiliki saka (tiang sebanyak empat buah. Pembuatan bale gading disesuaikan dengan lontar yang ada yaitu dengan perhitungan asta kosala kosali (tata aturan membuat bangunan Hindu) biasanya pembuatnnya dilakukan oleh seorang Wenagi (tukang membuata bangunan Pura) namun tidak menutup kemungkinan juga dibuat oleh orang biasa namun telah mengetahui cara-cara pembuatan bale gading. Di dalam bale ini diisi suatu upakara kecil (Sudarsana, 2000).
Dalam hal ini gading yang dimaksud bukanlah gading gajah, namun gading dalam ajaran agama Hindu yang merupakan jenis warna sebagai lambang kesucian yaitu warna kuning. Bale gading adalah bale yang berwarna kuning, ditambah lagi dengan bahan-bahan dan cara pembuatannya dengan menggunakan bahan serba kuning (gading). Bangunan ini bukan tempat manusia, melainkan adalah untuk tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi, dalam wujud-Nya Sang Hyang Semara Ratih, maka dari itu bangunan ini dibuat kecil (Raka, 1984).

2.3.Peranan Bambu Kuning Dalam Pembuatan Bale Gading
Dalam pembuatan bale gading material yang dimanfaatkan adalah bambu kuning. Bahan ini tidak dapat digantikan dengan bahan lain karena dalam hal ini bambu kuning memliki makna dan peranan yang sangat penting. Menurut bahasa sansekerta. Tihing gading itu berasal dari kata ”pring” yang artinya api dan api artinya cahaya dan gading itu mengandung makna amerta yang juga disebut keindahan, jadi bambu kuning adalah api keindahan. Jadi secara lebih jelasnya tiying/bambu gading ini adalah merupakan simbol dari Dewa Keindahan. Dalam lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah.
Di dalam ajaran agama Hindu juga telah dikenal adanya dua jenis warna sebagai lambang kesucian, yaitu warna putih dan kuning. Dimana warna putih adalah lambang kesucian yang menyatakan suatu kondisi yang bebas dari segala ikatan keduniawian dan netral, sedangkan warna kuning juga merupakan lambang kesucian namun lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti: keagungan, kemakmuran, kewibawaan, kemuliaan serta kesempurnaan (Lontar Taru Pramana).
Oleh karena demikian pemakaian warna kuning lebih mengutamakan pada hal-hal yang bersifat penyucian yang masih dilekati oleh unsur-unsur keduniawian (Raka, 1984).

2.7 Fungsi Bale Gading Dalam Upacara Potong Gigi
Pada dasarnya upacara tidak dapat dipisahkan dengan upakara (bebanten) baik besar maupun kecil sesuai dengan keadaan. Pembersihan lahir bathin manusia selama hidupnya dianggap perlu, agar seseorang dapat menerima petunjuk-petunjuk yang baik dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga selama hidupnya tidak menempuh jalan yang sesat, melainkan dapat berpikir, berkata, dan berbuat yang benar, sehingga dapat memperbaiki karmanya dan akhirnya setelah meninggal rokhnya (atmanya) telah menjadi bersih (suci) serta wajar bersatu dengan Tuhan (Brahman) (Raka, 1984).
Dalam upacara Yadnya kita kenal adanya tingkatan-tingkatan upacara seperti: nista, madya dan utama yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan dari bahan atau materi yang tersedia. Seperti diketahui bahwa nista, madya dan utama itu hanyalah semata-mata untuk menunjukkan jumlah materi atau upakara di dalam suatu yadnya, namun dalam makna yang sama. Nista sendiri berarti inti atau pokok bukan berarti hina, sebab dalam Yadnya landasannya adalah ketulusan dan kesucian hati nurani. Bila dilandasi ketulusan hati walaupun kecil upacara yang kita persembahkan niscaya besar pahala yang akan diterima namun sebaliknya Yadnya yang besar bila tidak dilandasi hati yang suci akan sia-sia belaka (Purwita, 1992).
Diantara sekian jenis upacara Manusa Yadnya yang menggunakan bale gading sebagai sarana upakaranya antara lain Upacara Potong Gigi (Mepandes).
Di dalam upacara Potong gigi, pemujaan dilakukan kepada Dewa Kama (Sanghyang Semara) yang merupakan sebagai lambang cinta kasih, ataupun keindahan. Sebenarnya “Semara Ratih” merupakan salah satu nama untuk menyebutkan Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud Ardanareswari. Dewa Kama (Sanghyang Semara) dengan sakti-Nya Dewi Ratih berada di atas teratai bersenjata busur (panah), berwarna kuning keemasan memberi sukses dalam segala usaha, membasmi penyakit, mengusir kejahatan namun yang paling utama adalah member cinta dan kasih (Mas Putra, 1987).
Dalam upacara potong gigi beliau dipuja serta dibuatkan stana beratapkan bunga-bunga berwarna kuning demikian pula bahan bangunannya dari bambu gading (bambu kuning) dan perlengkapan lainnya berwarna kuning, yaitu sebuah “bale gading” (Mas Putra, 1987). Mengingat bahwa warna kuning merupakan lambang kesucian dan cinta kasih namun yang masih berkaitan dengan keduniawian, demikian pula Sang Hyang Semara Ratih.Bale gading tersebut merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam wujud sinar suci-Nya yang abadi yaitu Sang Hyang Semara Ratih. Bale gading juga merupakan suatu simbolik bagi seseorang mulai memasuki tingkat remaja atau dewasa. Warna gading (kuning) adalah simbolik daripada muda atau remaja. Dalam upacara potong gigi lebih banyak ditekankan dan mengandung penuh pengharapan agar manusia dapat mengurangi nafsu-nafsu jahatnya (Sad Ripu) sehingga dapat bertindak sewajarnya. Ngayab bale gading: bale gading merupakan suatu simbolik bagi seseorang mulai memasuki tingkat remaja atau dewasa. Warna gading (kuning) adalah simbolik daripada muda atau remaja. Sedangkan ngayab bale gading bermakna memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada mereka yang sedang menghadapi kegoncangan batin karena dilanda oleh pancaroba yang dapat menimbulkan krisis dalam kejiwaan (krisis rite). Dengan melakukan upacara ini Bhatara Semara dan Bhatari Ratih akan memberikan kekuatan lahir dan batin untuk dapat melewati masa krisis itu dengan selamat. Penggunaan bale gading pada upacara potong gigi dilaksanakan baik pada tingkat nista, madya maupun utama (Purwita, 1992). Bale gading hanya merupakan pelegkap upakara dalam upacara ptong gigi (mepandes) tidak dipergunakan dalam upacara yadya yang lainnya. Sering kali upacara potong gigi ini pelaksanaannya disertakan pada beberapa rentetan upacara yadnya lainnya seperti memukur pada pitra yadnya, menek kelih dan pernikahan (pewiwahan) pada upacara manusa yadnya.
Adapun bale gading merupakan linggih dari (sthana) Sanghyang Semara Ratih, dimana di dalam Lontar Dewa Tattwa disebutkan bale gading dilengkapi dengan upakara “Rajah Ratih Candra” dan untuk lebih jelasnya mengenai bale gading sebagai linggih (stana) dari Sanghyang Semara Ratih. “ Kramaning banten bale gading, misi suci asoroh, mewak itik ginuling, nasi kuning atebog, mewak itik putih mebe kakak, kunang sekarnya, sekar sekasti, kedapan naga sari, gadung, sekar cepaka warangan, Rajah Ratuh Candra” Pengertian Ratih Candra pada kutipan diatas adalah menunjukkan nama dari salah satu Dewa yaitu Dewa kecantikan (kebagusan), yang menurut kepercayaan agama Hindu di sering dipersonifikasikan dengan bulan, sebagai lambang Dewa kecantikan (kebagusan). Mengingat Rajah Ratih Candra merupakan lambang atau simbul dari Dewa kecantikan (kebagusan) dalam wujud cinta kasih-Nya dari Ida Sanghayng Widhi Wasa (Tuhan) selanjutnya Rajah Ratih Candra tersebut ditempatkan bale gading, maka bale gading merupakan linggih (stana) dari Sang Hyang Semara Ratih (Lontar Dewa Tattwa).


2.8. Mitologi-mitologi yang terkandung Dalam Bale Gading
Diceritakan terbakarnya Sanghyang Semara dan Dewi Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Siwa karena berani menggoda beliau pada saat Bhatara Siwa sedang bersemadi. Diceritakanlah bahwa sorga sedang diserang oleh raksasa Nilarudraka, seorang raksasa yang sakti ingin menguasai sorga. Para dewa-dewa semuanya kalah tidak ada yang sanggup melawannya.
Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah. Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya. Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.
Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.
Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama. Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.
Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa. Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih. Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga. Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.
Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia. Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya. Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
(Lontar Cudamani II, hal 15)
Sebagaimana diketahui Dewa Kama sering digambarkan sebagai Dewa Cinta ataupun Dewa Asmara. Cinta adalah manifestasi dari keinginan, dengan cinta maka dunia ini digerakkan, tidak ada suatu gerakan akan terjadi kalau tidak karena dorongan keinginan (cinta).Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.
Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).
Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.
Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam. Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.
Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.
Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu.Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.(Lontar Cudamani II, hal 15). Kutipan cerita tersebut adalah merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.












BAB III
PENUTUP


5.1Simpulan
Bambu kuning (gading) memiliki peranan yang amat penting dalam pembuatan Bale Gading karena warna kuning (gading) dalam mitologi Hindu merupakan lambang Keindahan, kecantikan, kesucian, kewibawaan serta keremajaan. Selain itu bambu kuning (gading) berasal dari kata ”pring” yang artinya api (cahaya) dan gading (kuning) yang bermakna ”amerta” (keindahan), jadi bambu kuning merupakan api keindahan dan tiying gading (bambu kuning) ini merupakan simbol dari Dewa Keindahan dimana seperti yang disebutkan dalam Lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan dan memperoleh kesucian hati. Oleh karenanya dalam upacara potong gigi diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih (Sang Hyang Semara Ratih), maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
Bale Gading merupakan sebuah bangunan yang berwarna kuning yang terbuat dari bambu kuning (bambu gading) yang memiliki empat buah sake (tiang) dengan bentuk persegi empat bujur sangkar dan memiliki atap, menyerupai bangunan biasa dan bale ini dihias serba kuning dengan bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya serba bewarna kuning sehingga berbentuk seperti bangunan emas. Bale gading dalam upacara potong gigi berperan sebagai salah satu kelengkapan upakara yang mana merupakan Stana dari Sang Hyang Semara Ratih dimana Beliau merupakan Dewa Kecantikan dan Kemuliaan yang nantinya diharapkan bagi yang akan potong gigi mengikuti sifat dari Sang Hyang Semara Ratih tersebut. Pada bale gading terdapat beberapa upakara sebagai pelengkapnya antara lain : banten pejati yang terdiri dari peras, daksina dan ajuman; nyuh gading (kelapa gading) yang telah dikasturi; banten suci; canang sari dan ponjen.

3.2 Saran
3.2.1 Karena manfaat dan kegunaan dari bambu kuning sangat besar bagi kebutuhan adat istiadat serta upacara keagamaan khususnya upacara yadnya masyarakat Hindu pada umumnya dan Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung pada khususnya, maka diharapkan agar masyarakat membudidayakan tanaman bambu kuning di pekarangan rumahnya masing – masing untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
3.2.2 Diharapkan agar masyarakat lebih membuka pemikiran tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes).
3.2.3 Penelitian ini dapat digunakan dalam proses belajar mengajar biologi khususnya dalam kajian etnobotani disamping itu juga dapat digunakan dalam kegiatan mengajar untuk mata pelajaran agama Hindu.


thank To : http://gadingrazta.blogspot.com/2008/09/pembuatan-bale-gading-dengan.html

Sunday, 8 June 2014

SAD DARSANA

Sad Darsana 

Sad darsana artinya enam pemikiran filsafat yang diterima dan diakui sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari system kepercayaan agama hindu.
1.             Filsafat samkhya
Pendiri ajaran ini bernama Maharsi Kapila, yang menulis samkhyasutra. Kitab-kitab tattwa seperti Wrhaspatitattwa Jnana, Ganapati tattwa berbahasa jawa kuno dalam Saiwapaksa banyak mendapat pengaruh dan bahkan merupakan ajaran samkhya dan yoga. Menurut filsafat samkhya, hakikat manusia dan alam semesta terdiri dari dua unsure, yaitu purusa, asas kejiwaan (rohani) dan prakrti, asas badani (materi/jasmani). Kedua asas ini, terutama setelah purusa bertemu dengan prakrti, akan menyebabkan prakrti berkembang sebagai unsure penyusun tubuh manusia maupun alam semesta.[1]
Jadi ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) disini dipergunakan untuk membukyikan adanya prakrti.[2] Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan sesuatu, yang telah termuat didalam sebabnya.
Selanjutnya didalam prakrti terdapat  tiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattwa, unsure-asali dari segala yang terang, sesuatu yang memberi kepuasan, ketentraman, yang mengkan hati manusia. Rayas, nafsu yang berkobar, sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram. Tamas, kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu, yang muram, yang sedih, merasa hancur dan duka cita.
Jika prakrti dan purusa saling mendekati terjadilah proses yang banyak seluk beluknya sebagai berikut:
1.      Lahirlah budi, kesadaran.
2.      Unsure kedua adalah ahamkara, kesadaran akan adanya sesuatu “aku” (subjek)
3.      Manas: kekuasaan untuk mengamati dan untuk member reaksi terhadap apa yang diamati.
4-13. manas terbagi menjadi 10 daya kekuatan yang bermacam-macam,
-          Lima budi-indria                              -           karma-indria
Perasaan                                                       berkata
Pendengaran                                                memegang
Penglihatan                                                  berjalan
Pengecap                                                     mengosongkan
Pencium                                                       bersalin
14-18. kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi: kelima tanmatra. Kecuali daya penglihatan ada juga kesan-kesan penglihatan; selain perasaanada juga pengindraan perasaan atau kesan perasaan.
Kedelapanbelas pokok ini semuanya masih berupa setengah jiwa, termasuk dalm tingkatan badan yang halus yang bersama sama mewujudkan ” badan linga” yang artinya cirri jiwa perseorangan. 
19-23. Benda yang kasar, “Zat” didalam pengretian filsafat barat terdapat lima buah anasir: Eter (Mahabhuta), hawa, api, air, bumi.
Jika pada tiga buah pokok ini kita tambahkan lagi prakerti dan kurusa terdapatlah jumlah 25. Ini adlah bilangan yang paling kramat pada system samkhya. 
Menurut ajaran samkhya, ada 3 sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu :
a.    Pratyaksa pramana adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan dengan cara pengenalan terhadap obyek itu pasti dan benar melalui penentuan buddhi.
b.    Anumana pramana yaitu pengetahuan yang didapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal ini apa yang diamati akan menghantarkan seseorang pada pengetahuan yang tidak diamati langsung melalui hubungan universal.
c.    Sabda pramana adalah pernyataan dari yang kuasa dan memerikan pengetahuan mengenai suatu obyek yang tidak dapat diketahui atas dasar pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan.
Ajaran tentang moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat samkhya. Dalam ajaran samkhya, kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan.
2.             Filsafat yoga
Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang  biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti).
Pembangun ajaran ini adalah maharsi patanjali. Bila kitab weda merupakan pengetahuan suci yang sifatnya teoritis, maka yoga merupakan ilmu yang sifatnya praktis dari ajaran weda.
Tulisan pertama tentang ajaran weda adalah kitab yoga sutra karya maharsi patanjali. Seluruh kitab yoga sutra terbagi atas empat bagian yang terdiri dari 194 sutra. Bagian pertama disebut samadhipada yang berisi ajaran yoga. Bagian ke dua, sadhanapada memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti mencapai Samadhi, tentang kedukaan, karmaphala dan sebagainya. Bagian ke tiga disebut wibhutipada berisi segi batiniyah ajaran yoga tentang kekuatan ghaib yang diperoleh dalam melaksanakan yoga. Bagian ke empat disebut kaiwalyapada melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Patanjali mengartikan yoga sebagai berhentinya kegoncangan pikiran. Keadaan ini ditentukan oleh intensitas sattva, rajas dan tamas.
Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan sebagai tangga yang membimbing kehidupan biasa menuju realisasi Diri dan melampaui personalitas ego.

Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga

Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta itu dalam keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa itu dibebaskan dari kesengsaraannya. Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah ‘pembebasan’ (kaivalya).
Mahārși Patañjali dalam kitab Yoga Sutras menyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras

1.              Disiplin Moral (Yama)                        5. Pengendalian Indera (Pratyahara)
2.              Disliplin Diri (Niyama)                       6. Konsentrasi (Dharana)
3.              Postur Tubuh (asana)                          7. Meditasi (Dhyana)
4.              Pengendalian Napas (pranayama)      8. Ekstasis (Samadhi)

Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti, orang harus dapat menindas wrtti itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.
3.             Filsafat mimamsa
Pendiri ajaran ini adalah maharsi jaimini. Sumber utamanya adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab weda (brahmana kalpasutra). Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia adalah muksa, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam weda.
Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan. 

Ajaran dalam filsafat Mimamsa
Pokok  pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan  kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa.
Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata
Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri. Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah:
1.    Pengamatan (Pratyaksa)
2.    Penyimpulan (anumata)
3.    Kesaksian          (Sabda)
4.    Perbandingan (Upamana)
5.    Persangkaan       (Arthapatti)
6.    Ketiadaan          (Anupalabdi)
Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan.
Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan).
Jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting.
Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu:
a.         Bumi           f. Akal
b.        Air             g. Pribadi
c.         Api              h. Ruang
d.        Hawa          i. Waktu
e.         Akasa
Sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda).

4.             Filsafat nyaya
Secara harfiah, kata “Nyaya” berarti sarana yang membimbing pikiran untuk mencapai suatu kesimpulan. Kata Nyaya lantas menjadi setara dengan ‘Argumen”,karena itu system filsafat yang menggunakan argument secara menyeluruh disebut filsafat nyaya. Secara popular, nyaya berarti ‘benar’ atau ‘lurus’,sehingga nyaya menjadi sains tentang penalaran yang benar. Dalam arti sempit, ‘nyaya’ berarti penalaran silogistis,sedangkan dalam arti yang luas , ‘nyaya berarti peme-riksaan objek melalui bukti-bukti dan menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan yang benar.Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi :
1.        Subjek pengenal (pramatr)
2.        Objek (prameya)
3.        Kondisi hasil dari pengenalan (pramiti)
4.        Sarana pengetahuan (pramana)
Pendiri ajaran ini adalah maharsi gautama (gotama), yang menulis nyaya sutra. Kata nyaya berarti suatu penelitian yang analisis dan kritis, disebut realistis karena mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Dalam memecahkan ilmu pengetahuan filsafat ini mempergunakan empat metode (catur Pramana), sebagai berikut:
o    Pratyaksa, yaitu pengamatan langsung melaui panca indra.
o    Anumana, pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh.
o    Upamana, ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan.
o    Sabda, pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya.
sistem nyaya-vaishenhika mewakili tipe filasafat analisis serta menjungjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas system nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains,yakni pemeriksaan logis dan kritis, mereka mencoba untuk mengembalikan subtansi-subtansi tradisional, jiwa di dalam diri dan alam (nature) di luar diri, tanpa semata-mata berdasarkan otoritas. Kaum nyaya mengakui kebenaran segala sesuatu berdasarkan akal-budi (reason). Yang membedakan system nyaya dari system lainnya adalah perlakuan kritis terhadap masalah metafisika. Vacaspati mendefinisikan tujuan nyaya sebagai pemeriksaan kritis atas objek pengetahuan melalui pembuktian logis. Sistem nyaya sebenarnya juga menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta beragumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti.
Filsafat nyaya bukan hanya mempertanyakan cara serta sarana yang dipakai oleh pikiran manusia untuk mengerti dan mengembangkan pengetahuan,tetapi juga menafsirkan fakta-fakta logis dan mengungkapkannya dalam rumusan yang logis.

Substansi dan Kategori
Keragaman benda-benda yang dialami dapat dibagi menjadi dalam kelompok-kelompok yang disebut ‘subtansi’. Nyaya-vaishehika membagi subtansi menjadi Sembilan macam yakni :
1.        Tanah (prithivi)
2.        Air (apah,jala)
3.        Api (tejas)
4.        Udara (vayu)
5.        Eter (akasha)
6.        Waktu (kala)
7.        Ruang (dik)
8.        Diri (atman)
9.        Pikiran (manas).
Kesembilan subtansi ini bersama-sama dengan berbagai sifat dan hubungannya menjelaskan seluruh semesta alam.
system nyaya-vasheshika meletakkan objek dalam enam katagori berbeda yakni :
·      Kualitas (guna)
Katagori ini mencakup 24 gunas, yakni warna (rupa),rasa (rasa),bau (gandha),sentuhan (sparsa),angka (sankhya),ukuran (parimiti),perbedaan (prthaktva),hubungan (samyoga),pemisah (vibhaga),kedekatan (paratva),berat (gurutva),kecairan (daravatva),kekentalan (sneha),suara (sacda),pengetahuan (buddhi),keinginan (iccha),kebencian (dvesa),usaha (yatna),kebaikan/jasa (dharma),keburukan (adharma),dan kesan laten (samskara).
·      Tindakan atau macam-macam gerak (karma)
Yang berhubungan dengan unsure dan kualitas, namun uga memiliki realitas mandiri,ada lima macam gerak yakni : ke atas, ke bawah, mendatar,mengerut, dan mengembang.
·      Universalia (samanya)
Aspek objek yang memberikan label secara umum menurut sipat yang paling umum, imi agak mirip dengan idenya plato. Seperti contoh “ ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup,tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri,namun hanya melalui dengan se ekor ‘sapi’ dan kesapian dipahami sebagai dua entitas berbeda.
·      Individualitas (visesa)
Katagori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya.
·      Hubungan niscaya (samavaya)
Dimensi objek ini menunjukkan hakekat hubungan yang mungkin kalitas-kulitasnya yang inheren.
·      Penyangkalan,negasi,non-eksistensi
Katagori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut dalam partikel subatomic terpisah melalui pelarutan universal dan ke dalam ketiadaan.

Ajaran tentang Tuhan
Karena nyaya menyakini keberadaan weda, maka penganut nyaya (naiyayika) percaya akan adanya tuhan dan tuhan disamakan denagn siwa. Ada dua bukti yang menunujukkan adanya Tuhan, yaitu:
a)        Bukti Kosmologi
Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama.sebab itulah tuhan.
b)       Pembuktian teologis
Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan atura tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut.yang mengadakan itulah tuhan.
Tuhan disebut juga paratman karena tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana. Memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung.

Ajaran tentang Kelepasaan
Kelepasan merupakan tujuan dari mahluk (manusia).Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan itu akan didapat dari tuntunan tuhan melalui ajarannya. Sebagai wujud dari kelepasan iyalah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar kelahiran dan penderitaan terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja)dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma.

5.             Filsafat waisesika
Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, System ajaran filsafat ini dipelopori oleh Maharsi Kanada. Adapun sebagai sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan Maharsi Kanada Sendiri yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof  menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok filsafat waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan.
Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. sistem waisesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman.
Sistem  filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang artinya  kekhususan,  yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah  kekhususan  Padartha.
 padartha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.
7 katagori (padartha), yaitu :
1.    Substansi (drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : Tanah (prthivi); Air (apah,  jala); Api (tejas); Udara (vayu); Ether (akasha); Waktu (kala); ruang (dik); diri (atman); pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rohaniah.
2.    Kualitas (guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat.
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu :
1) warna (rupa);                            13) kecairan/keenceran (dravatva)
2) rasa (rasa);                                14) kekentalan (sneha);
3) bau (gandha);                           15) suara (sabda);
4) sentuhan/raba (sparsa);             16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana);
5) jumlah (samkhya);                    17) kesenangan (sukha);
6) ukuran (parimana);                   18) penderitaan (dukha);
7) keaneragaman (prthaktva);      19) kehendak (iccha);
8) persekutuan (samyoga);           20) kebencian/keengganan (dvesa);
9) keterpisahan (vibhaga);            21) usaha (prayatna);
10) keterpencilan (paratva);         22) kebajikan/manfaat (dharma);
11) kedekatan (aparatva);            23) kekurangan/cacat (adharma);
12) bobot (gurutva);                     24) sifat pembiakan sendiri (samskara).
8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha, dukha, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.
3.    Aktifitas (karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada.
Ada 5 macam gerak, yaitu : Utksepana (gerakan ke atas); Avaksepana (gerakan  ke bawah); A-kuncana (gerakan membengkok); Prasarana (gerakan mengembang); Gamana (gerakan menjauh atau mendekat)
4.    Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu :
o  sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah
o  jenis kelamin dan spesies.
5.    Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf  Vaishesika.
6.    Hubungan Niscaya (samavaya).
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan.
7.    Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness).

6.             Filsafat wedanta
System filsafat Wedanta juga disebut uttara mimamsa. Kata “wedanta” berarti ‘akhir dari weda”. Sumber ajarannya adalah kitab-kitab uppanisad. Maharsi vyasa menyusun kitab yang bernama wedantasutra. Kitab ini dalam bhagavad Gita disebut brahmasutra, oleh karena kitab wedanta bersumber pada kitab-kitab upanisad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa tuhan yang maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal God).
Wedanta artinya adalah akhir dari Weda, sumber kitabnya adalah Upanishad. Filsafat wedanta lahir untk merespon zaman Upanishad. Pokok ajarannya adalah membicarakan tentang Tuhan, Roh dan Dunia (Brahman , atman dan Alam). Filsafat wedanta terbagi menjadi 3, yaitu:
1.      Adwaita
Pendirinya adalah Shankara (abad ke-8), menurut Shankara Brahman dan alam berbeda, tidak ada yang ada kecuali Brahman yang lain yentang alam hanyalah ilusi karena keadaannya dapat berubah. Shankara membagi pengetahuan kedaam dua macam:
a.       Pengetahuan tinggi, kebenaran yang memang benar (Brahman).
b.      Pengetahuan rendah, kebenaran yang tidak membawa kenyataan yang sebenarnya (alam)
Tentang moksa, Shankara berpendapat bahwa orang akan mencapai moksa, jika sudah tidak tertarik dengan kehidupan dunia, karena dunia hanyalah semu. Semakin orang mengikat dengan kehidupan dunia maka akan semakin jauh dengan moksa.
2.      Wasistadwaita
Pendirinya adalah Ramanuja (abad ke-11), menurut Ramanuja bahwa ada dua yang tampak namun tak dapat dipisahkan yaitu adanya substansi dan sifat, seperti mawar merah, mawar=substansi, merah=sifat (antara mawar dan merah adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan), sama halnya tidak bisa menjelaskan Brahman tanpa adanya manifes dari Atman (ada yang dijelaskan dan ditentukan), artinya bahwa Brahman berbeda dengan Atman namun tak dapat dipisahkan, kehidupan hanyalah manifes dari Brahman.
3.      Dwaita
Pendirinya adalah Madhva (abad ke-13),  konsepnya adalah “beda” ada banyak yang “ada”, disini terdapat lima perbedaan, yaitu:
a.       Tuhan berbeda dengan jiwa
b.      Jiwa berbeda dengan jiwa lainnya
c.       Tuhan berbeda dengan Benda
d.      Jiwa berbeda dengan benda
e.       Benda berbeda dengan benda lainnya
Perbedaan tentang tiga sekolah utama dalam filsafat Wedanta:Adwaita (Non-dualisme) Wasistadwaita (non-dualisme) Dwaita (dualism)


[1] Djam’annuri. Agama Kita: perspektif sejarah agama-agama (sebuah pengantar),h. 56
[2] Dr. A.G. Honig Jr. Ilmu Agama. diterjemahan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto, (Jakarta: PT BPK gunung Mulia,  2011), cet. XIII, h. 130


sumber : http://catatanifanur15.blogspot.com/p/sad-darsana.html