BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Bumi
adalah tempat hidup makhluk hidup sekligus tempat mereka untuk berkembang biak.
Kehidupan di Bumi sudah tercatat sejak berjuta-juta tahun yang lalu, yang tidak
ada yang tau kepastiannya, namun dapat ditelusuri dengan melakukan suatu
penelitian, penggalian untuk mengetahui perkembangan suatu organism dari jaman
ke jaman. Konon kehidupan di bumi di awali oleh makhluk hidup yang paling
sederhana yaitu tumbuh-tumbuhan kemudian bakteri dan hewan-hewan dan yang
paling terakhir adalah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.
Seiring
dengan berjalannya waktu, organism di bumi mengalami suatu perkembangan dan
perubahan pada bentuk fisik yang dissesuakian dengan keadaan bumi ketika itu.
Dengan perubahan bentuk fisik tersebut suatu organisme juga mengalami perbahan
pola piker yang dari jaman ke jaman semakin akurat.
Di
jaman posmoderin sekarang ini para arkeolog semakin semangat untuk melakukan
suatu penelitian ke tempat-tempat yang dimana tempat tersebut menyimpan suatu
bukti perkembangan makhluk hidup dari berjuta-juta tahun yang lalu. Dalam
melakukan suatu penelitian para arkeolog tentu membutuhkan tempat penyimpanan
material yang menyimpan bukti-bukti tersebut, maka dibuatlah suatu tempat
penyimpanan benda purbakala yang disebut Museum yang terlindung dari
tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.
Dalam
melakukan praktek lapangan atau menemui benda-benda purbakala penulis memilih
salah satu Museum yang ada di Bali yaitu Museum Gedong Arca yang beralamat di
Ds. Pejeng, Bedulu,Gianyar. Di Museum ini menyimpan benda-benda purbakala
berupa peralatan baik alat untuk berburu, alat dapur, Makam/sargopagus manusia pada jaman dahulu.
Di
jaman modern sekarang ini tidak banyak orang mengenal bagaimana perkembangan
organisme dari jaman ke jaman khususnya peradaban manusia,sehingga diharapkan
dengan disusunnya laporangan Kegiatan Lapanga yang berjudul “Museum Gedong Arca, Bentuk Pelestarian
Benda Purbakala Di Bali”, dapat dijadikan bahan bacaan sekaligus menambah
minat pembaca untuk belajar lebih dalam tentang peradaban manusia khusunya.
1.2.
Rumusan Masalah
a. Bagaiman
sejarah berdirinya Museum Gedong Arca ?
b. Koleksi
Museum Gedong Arca ?
1.3.Tujuan
1.3.1.Tujuan
Umum
a. Tujuan
dari penulisan laporan ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui perkembangan
peradaban manusia.
b. Agar
pembaca dapat mengetahui lebih dalam mengenai museum gedong Arca
1.3.2.Tujuan
Khusus
a. Sebagai
salah satu syarat agar dapat mengikuti Ujian Akhir Semester ( UAS ) khususnya
dalam mata kuliah Sejarah Kebudayaan I.
b. Sebagai
salah satu kreteria penilaian idividu Mahasiswa oleh Dosen
1.4.Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan dari
penyusunan laporan ini, diantaranya :
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Museum Gedong arca
Gambar
:Peta Museum Gedong Arca
Museum
Gedong Arca terletak di Desa Bedulu Kecamatan Blahbatuh gianyar. Di dalam
museum ini terdapat koleksi koleksi peninggalan purbakala dari jaman peralihan
berkembangan manusia pada kebudayaan Hindu – Buddha ,Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur.
Museum
Arkeologi (Museum Gedung Arca) merupakan museum yang dalam pengelolaanya
merupakan bagian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah
Kerja Propinsi Bali, NTB, dan NTT (BP3 Bali). Sejarah pendirian museum bermula
dari gagasan dari Prof.Dr.R.P. Soejono dan Drs. Soekarto K.Atmojo (Mantan
Kepala Dinas Purbakala Bali).Untuk memajangkan/memamerkan benda cagar budaya
yang telah berhasil dilestarikan sejak berdirinya Jawatan Purbakala tahun 1950.
Museum
Arkeologi dengan koleksi unggulan berupa benda cagar budaya dari masa prasejarah
dan sejarah yang seluruhnya berasal dari hasil pelestarian di wilayah Provinsi
Bali. Secara resmi dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 14 September 1974.
Bangunan
Museum Arkeologi didirikan di atas tanah seluas 5165 m², dengan pembagian
halamannya menyerupai pura yang terdiri dari tiga halaman yaitu : halaman luar,
halaman tengah, dan halaman dalam. Di halaman luar (jaba sisi) terdapat sebuah
wantilan tempat mengadakan pertemuan. Di halaman Tengah (jaba tengah) terdapat
4 buah gedung tempat memajangkan koleksi dan dihalaman dalam (jeroan) terdapat
6 buah balai pelindung yang juga berfungsi untuk memajang koleksi.
2.2. Koleksi Museum Gedong Arca
Koleksi
Museum Arkeologi Gedung Arca saat ini berjumlah 185 buah yang terdiri dari dua
kelompok yaitu dari masa prasejarah dan sejarah. Koleksi dari masa prasejarah
di mulai dari jaman batu sampai jaman perunggu dan masa sejarah di mulai dari
abad ke- 8 M sampai abad ke- 15 M.
Koleksi-koleksi
tersebut dipamerkan di halaman tengah, halaman dalam dan di depan Padmasana.
Koleksi di museum ini berupa :
A. Koleksi di
halaman tengah
Gambar :
Halaman tengah Museum Gedong Arca
1. Gedung A: koleksi
dari zaman prasejarah berupa alat-alat batu seperti kapak genggam, kapak perimbas, kapak lonjong, alat-alat dari batu kecil berbentuk
mata panah yang disebut mikrolith. Semua alat ini pada masanya digunakan
untuk berburu dan mengumpulkan makanan. Selain itu terdapat koleksi
benda-benda aksesoris berbahan perunggu
seperti gelang, cincin, tajak, dan benda lainnya yang berfungsi
sebagai bekal kubur.
Gambar : Kapak Genggam, Kapak Perimbas, dan Kapak Lonjong.
a. Kapak
genggam dibuat dari gamping kersikan dan berbentuk lonjong. Dinamakan kapak
genggam karena digunukan dengan cara menggenggam, mirip dengan kapak tetapi
tidak bertangkai, yang kemudian sering disebut dengan kapak
genggam, chopper (alat penetak), atau kapak perimbas.Tradisi kapak
genggam berlangsung pada zaman Paleolitikum. Kapak genggam digunakan untuk
menumbuk biji-bijian, membuat serat-serat dari pepohonan, membunuh binatang
buruan, atau sebagai senjata menyerang lawannya. Dinamakan kapak genggam karena
digunukan dengan cara menggenggam, mirip dengan kapak tetapi tidak bertangkai,
yang kemudian sering disebut dengan kapak genggam, chopper (alat
penetak), atau kapak perimbas. Alat ini merupakan sebuah simbol dari keberadaan
mereka, baik dari segi pengetahuannya maupun dari segi tingkat
peradabanya.Kapak genggam pernah ditemukan oleh Von Koeningswald pada 1935 di
Pacitan, Jawa Timur. Hasil penyelidikan menunjukkan kapak jenis ini berasal
dari lapisan Trinil, yaitu pada masa Pleistosen Tengah, sehingga disimpulkan
bahwa pendukung kebudayaan kapak genggam adalah manusia Pithecanthropus
erectus. Daerah penemuan kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa
Timur juga ditemukan di daerah Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang
Sawah, Lahat, dan Kal iAnda (Sumatra), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge
(Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).Kapak genggam dibuat dari gamping
kersikan dan berbentuk lonjong. Pemangkasan dilakukan memanjang ke arah
ujungnya yang meruncing, meliputi hampir seluruh permukaan batu dengan
meninggalkan sebagian kecil kulit batu pada sebuah sisi permukaan. Pembuatan
kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai
menajam, dan membiarkan sisi yang lainnya apa adanya sebagai tempat
memegang.Pada umumnya kapak gengam dipahat kasar secara memanjang, yaitu suatu
teknik yang ada pada budaya kapak perimbas, tetapi ada juga beberapa buah yang
diserpih dengan teliti dan dibentuk teratur (lonjong, bundar). Bentuk-bentuk
yang khusus ini ditemukan baik di lembah Baksoko maupun di daerah Tabuhan, dan
dapat digolongkan sebagai contoh-contoh yang mirip dengan alat-alat tingkat
Acheulean awal, suatu tingkat budaya Paleolitik di Eropa dan Afrika.
Kapak genggam merupakan hasil dari kebudayaan zaman Batu Tua atau Paleolitikum,
di mana salah satu manusia pendukungnya adalah Pithecanthropus erectus.
Mereka hidup secara berkelompok dan tinggal secara berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain.
b. Kapak
perimbas merupakan pekakas yang terbuat dari batu jenis kapak yang digenggam
dan berbentuk masif. Kapak perimbas memiliki tajaman yang berbentuk konveks
(cembung) atau kadang-kadang lurus diperoleh melalui pemangkasan pada salah
satu sisi pinggiran batu. Kulit batu masihmelekat pada sebagian besar permukaan
batunya.Keberadaan kapak perimbas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya berkembang di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan batuan yang
sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Kapak perimbas banyak ditemukan
di Sumatra Selatan (lahat), Lampung (Kalianda), Kalimantan Selatan
(Awangbangkal), Sulawesi Selatan (Cabbege), Bali (Sembiran, Trunyan), Sumbawa
(Batutring), Flores (Wangka, Maumere, Ruteng), dan Timor (Atambua, Kefanmanu,
Noelbaki). Daerah Punung ternyata daerah terkaya akan kapak perimbas sehingga
sekarang merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Selain di
Indonesia, kapak perimbas banyak ditemukan di wilayah luar Indonesia, khususnya
kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Ada pun tempat persebaran kapak perimbas
adalah Thailand, Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Kalau
dilihat dari sudut teknologinya, ternyata kapak perimbas yang ditemukan di
Indonesia memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di negara-negara lain. Movius
berpendapat bahwa di Asia Tenggara dan Asia Timur berkembang suatu budaya
Paleolitik yang berbeda dengan corak yang berkembang di daerah sebelah barat
seperti Eropa, Afrika, Asia Barat, dan sebagian India, khususnya mengenai
bentuk dan teknik alat-alat batunya. Hasil penemuan menunjukkan kalau teknik
pembuatan yang ada di Asia Timur dan Asia Tenggara adalah monofasial, yaitu
pengasahan alat-alat batu dilakukan pada salah satu permukaan saja. Kegiatan
hidup sehari-hari manusia pendukung kebudayaan kapak perimbas (zaman
Paleolitikum) adalah mengumpulkan bahan makanan atau food gathering.
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada
zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus erectus, Homo wajakensis,
Meganthropus paleojavanicus, dan Homo soloensis. Fosil ini
ditemukan di aliran Sungai Bengawan Solo
c. Kapak
lonjong merupakan hasil kebudayaan zaman neolitikum, yang terbuat dari batu
kali dan nefrit. Kebudayaan zaman neolitikum jauh lebih maju dibandingkan
dengan zaman sebelumnya, karena pada masa itu sudah senjata seperti kapak
lonjong sudah menggunakan pegangan yang terbuat dari kayu, dan bambu.Kapak
Lonjong adalah kapak yang pada umumnya berbentuk lonjong dengan pangkal agak
runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah
dengan menghasilkan tajaman yang simetris. Bahan yang dipakai untuk membuat
kapak lonjong pada umumnya batu kali yang berwarna kehitaman, seperti
kapak-kapak batu yang sampai sekarang masih digunakan di Papua. Kapak lonjong
juga dibuat dari jenis nefrit berwarna hijau tua. Bahan baku yang
diperoleh langsung dari kerakal yang sudah sesuai bentuknya, permukaan batu
diratakan dengan teknik pukulan beruntun. Selain menghasilkan kapak lonjong
yang berukuran besar atau kapak lonjong untuk pekakas, mereka juga ternyata
menghasilakan kapak lonjong kecil yang diperkirakan berguna sebagai benda
wasiat atau benda pusaka yang mengandung unsur magis. Kapak yang berukuran
kecil ini tidak digunakan sebagai pekakas atau senjata. Apabila pada zaman paleolitikum
penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang dengan menggunakan tangan,
tampa menggunakan alat bantu lain atau pegangan. Lain halnya dengan zaman neolitikum,
mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk
mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak
lonjong pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang
yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang
tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Tangkai kapak
atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu
tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak
atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya.
Daerah
penemuan kapak lonjong di Indonesia, hanya terbatas di daerah bagian timur,
yaitu Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Leh, Tanimbar, dan Papua. Di
Serawak, yaitu di Gua Niah, kapak lonjong juga ditemukan. Dari tempat-tempat
yang disebutkan itu, hanya sedikit yang diperoleh dari penggalian arkeologi,
kecuali dari Serawak dan Kalumpang di Sulawesi Tengah. Suatu hal yang agak
menyulitkan tentang penelitian kepurbakalaan kapak lonjong ini adalah karena
alat semacam ini masih dibuat di pedalaman Pulau Papua. Tidaklah mustahil
temuan-temuan lepas di beberapa tempat di bagian timur Indonesia itu adalah
hasil pengaruh dari Papua yang mencapai tempat-tempat tersebut pada waktu yang
tidak begitu tua. Di luar Indonesia, kapak lonjong ditemukan tersebar luas
meliputi Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan juga di India.
Di India unsur kapak lonjong ini sering dihubungkan dengan orang-orang Dravida
sebagai pendukungnya. Di Kepulauan Mikronesia dan Melanesia kapak bulat juga
ditemukan. Atas dasar tempat-tempat penemuan tersebut, agaknya jalan persebaran
kapak lonjong itu dapat diikuti dan ternyata pernah melintasi bagian utara dan
timur Kepulauan Indonesia dan seterusnya bertahan dengan kuat dalam waktu yang
lama di Pulau Irian atau Papua.
2. Gedung B: koleksi BCB hasil eskavasi
situs Gilimanuk pada tahun 1961, 1962, 1963, berupa
tempayan, periuk, fosil tengkorak kera, dan lain-lain, yang merupakan
peninggalan masa prasejarah.
3. Gedung J: koleksi keramik Cina yang berdasarkan ciri dan bahannya
diperkirakan berasal dari abad X-XVIII (masa Dinasti Ming, Song, Qing).
Gambar : Piring Cina
- Gedung K:
koleksi dari masa sejarah, berupa stupika tanah liat yang memuat mantra
agama Buddha. Tulisan pada stupika menunjukkan
kesamaan dengan tulisan yang terdapat pada ambang pintu Candi Kalasan yang
berangka tahun 778 M. Koleksi lain berupa benda-benda perunggu seperti
lampu, arca, prasasti, mata uang, dan alat-alat upacara yang
diperkirakan berasal dari abad XIV-XV.
Berikut isi dari stupika tanah liat yang penulis telusuri
lewat media Internet :
Dokumen tertua ditemukan di Bali, dalam hal ini di Pejeng, ialah
prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta pada tablet-tablet tanah liat yang
semula tersimpan di dalam stupika-stupika (stupa-stupa kecil) dari tanah liat.
Prasasti-prasasti itu berupa mantra-mantra agama Buddha yang terkenal dengan
nama ye-te-mantra. Prasasti-prasasti sejenis ini ditemukan juga di Pura
Pegulingan Basangambu, Tampaksiring dan situs Kalibukuk Buleleng. Bunyi teksnya
sebagai berikut.
“Yedharmā hetu-prabhawā
Hetun tesān tathāgato hyawadat
Tesāñca yo nirodha
Ewamwādi mahāśramanah” (Goris, 1948 : 3).
Artinya :
“Keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh
Tathagata (Buddha), Tuan mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus
diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”5
Mantra
sejenis itu tertulis pula di atas pintu Candi Kalasan (di Jawa Tengah) yang
berasal dari abad VIII atau tahun 700 Śaka (778). Berdasarkan kesamaan tipe
aksara mantra-mantra di kedua tempat itu, maka mantra-mantra agama Buddha di
Pejeng diduga berasal dari abad VIII pula (Goris, 1949 : 3-4 ; cf. Budiastra,
1980/1981 : 36-38).
Di desa Pejeng ditemukan pula fragmen-fragmen prasasti berbahasa Sansekerta
dengan huruf Bali Kuno. Keadaannya sudah sangat tua. Di antara bagian-bagian
yang masih terbaca antara lain manuśasana… (pada fragmen d), …mantramārgga…
(pada fragmen g), …śiwas (…) ddh … (pada fragmen h), yang secara lengkap
kiranya berbunyi … śiwasiddhanta …, dan …sakalabhuwanakrt … (pada fragmen k),
yakni nama lain untuk Wiśwakarman. Hal-hal itu memberi petunjuk bahwa isi
prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan, dalam hal ini agama Hindu
sekte Śiwa ; bahkan agama itu rupanya telah bersifat mantris atau tanris
(Stutterheim, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun.
Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen
prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah,
dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari
masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheiom, 1929
: 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun.
Stutterheim, setelah melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen
prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah,
dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari
masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterheim, 1929
: 59). Jika dugaan itu benar, maka berarti, di daerah Pejeng (Gianyar) pada
waktu itu, agama Buddha dan agama Hindu sekte Siwa telah mempunyai pemeluk
masing-masing, yang hidup saling menghormati dengan penuh toleransi.
Rentangan waktu tahun itu disebut pula periode Singhamandawa, karena
hampir seluruh prasasti dari periode itu dikeluarkan di Panglapuan (panglapwan)
di Singhamandawa. Pada bagian awal periode tersebut, yaitu tahun 882-914,
terbit tujuh buah prasasti berbahasa Bali kuno, yakni prasasti Sukawana AI (804
Saka), Bebetin AI (818 Saka), Trunyan AI (833 Saka), Trunyan B (833 Saka),
Bangli, Pura Kehen A, Gobleg, Pura Desa I (836 Saka), dan Angsri A. Ketujuh
prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang mengeluarkannya (Goris,
1954a : 53-62).
Prasasti pertama pada intinya berisi tentang pengembalian fungsi kesucian
ulan (semacam bangunan suci keagamaan) di wilayah perkebunan di bukit Citamani
(sekarang Kintamani). Tampaknya, ulan itu sempat digunakan sebagai tempat
lalu-lalang bagi orang-orang yang pulang pergi ke kebun atau sawah ladangnya.
Kebijakan yang ditempuh penguasa ialah menyuruh Senapati danda, bhiksu
Siwakangsita, Siwanirmala, dan Siwaparjna membangun pertapaan yang dilengkapi
pasanggrahan (satra) di bagian lain bukit Cintamani. Selanjutnya, orang-orang
yang lalu-lalang di daerah itu agar tidak lagi menggunakan jalan setapak yang
melewati kompleks ulan melainkan melalui jalan di kompleks pertapaan.
Batas-batas wilayah pertapaan ditetapkan. Prasasti ini juga memuat ketetapan
pembebasan para bhiksu dari tugas dan pajak-pajak tertentu, serta aturan
pembagian harta warisan. Berdasarkan prasasti itu, dapat diketahui bahwa di
bawah pucuk pemerintahan paling sedikit ada empat jabatan tinggi kerajaan, yaitu
sarbwa, dinganga, nayakan, makarun, dan manuratang ajna. Jabatan-jabatan ini
tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni ketika prasasti-prasasti
dikeluarkan di panglapuan di Singhamandawa (882-942). Setelah itu,
jabatan-jabatan tinggi kerajaan rupanya semakin meningkat jumlahnya.
Prasasti Bebetin AI berkenaan dengan desa (banwa) bharu, atau secara
lebih lengkap kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng.
Dalam prasasti itu dikatakan bahwa pada suatu ketika desa itu diserang atau
dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terbunuh atau terluka dan banyak
pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga. Setelah keadaan aman, merekapun
kembali ke desa bharu. Demi kelengkapan desa, khususnya dalam bidang spiritual,
raja menyuruh pejabat nayakan pradhana yaitu kumpi ugra dan bhiksu Widya Ruwana
untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api, dengan batas-batas wilayah yang
telah ditentukan. Prasasti ini memuat pula aturan-aturan pembagian harta
warisan dan ketetapan mengenai tugas atau kewajiban serta hak-hak penduduk yang
berdiam di sana.
Desa bharu rupanya terletak di pesisir pantai utara Pulau Bali, dan
merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan terakhir ini
didasarkan atas adanya ketentuan yang mengatur saudagar-saudagar dari luar yang
berdagang di sana dan perahu-perahu yang mengalami kerusakan termuat dalam
prasasti itu. Bagian teks prasasti Bebetin AI mengenai hal itu, sebagaimana
terbaca pada lembaran Iib.3-4 berunyi sebagai berikut.
”… anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca : paneken) di hyangapi,
parunggahna, ana mati ya tua banyaga, perduan drbyana prakara, ana cakcak
lancangna kajadyan papagerrangen kuta …” (Goris, 1954a : 55).
Artinya :
”…Jika ada saudagar berlabuh (turun) di sana, barang-barang persembahannya
supaya dihaturkan kepada kuil Hyang Api, (jika) ada mati (di antara) saudagar
itu, segala harta miliknya agar dibagi dua, (jika) perahunya rusak, supaya
dijadikan pagar untuk memperkuat benteng, …”
Isi kedua prasasti berikutnya, yaitu prasasti Trunyan AI dan Trunyan B,
khususnya pada lembaran Ib-IIa.4, pada dasarnya sama. Keduanya mengenai izin
yang diberikan kepada penduduk desa Turunan untuk mendirikan bangunan suci bagi
Bhatara Da Tonta. Selanjutnya, penduduk wajib membayar iuran dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban tertentu untuk keperluan bangunan suci itu. Sebagai
imbangannya, mereka dibebaskan dari pajak-pajak serta kewajiban-kewajian
tertentu yang lazim ditunaikan bagi raja.
Pada bagian lain prasasti Trunyan AI dinyatakan bahwa jika ada utusan
raja melakukan persembahyangan di sana pada bulan Asuji, utusan itu wajib
diberikan makanan dan minuman. Prasasti itu menyinggung pula upacara di kuil
Guha Mangurug Jalalingga serta kewajiban-kewajiban penduduk desa Hasar, Halang
Guras, Pungsu, dan Panumbahan dalam kaitan dengan upacara-upacara di kuil Sang
Hyang di Turunan (Bhatara Da Tonta) dan Guha Mangurug Jalalingga.
Bagian lebih lanjut, prasasti Trunyan B antara lain memuat perihal iuran
yang wajib dibayar oleh penduduk desa Air Rawang di sebelah timur teluk Danau
Batur untuk keperluan upacara Sang Hyang di Turunan. Di sana disebutkan pula
bahwa setiap bulan Bhadrawada (Agustus-September), Bhatara Da Tonta harus
disucikan dengan air Danau Batur, kemudian dibedaki kuning, serta dihiasi
dengan cincin bepermata dan anting-anting. Petugas yang berwenang melaksanakan
hal-hal itu adalah Sahayan Padang dari desa Air Rawang. Pada bagian akhir
prasasti Trunyan B terbaca kalimat kutukan yang ringkas (Goris, 1954a : 58-59).
Prasasti Pura Kehen A berkenaan dengan bangunan suci (dang udu) Hyang
Karimama yang berada di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu tampaknya sempat
kurang terurus. Dalam rangka memulihkan fungsinya, raja menugasi bhiksu
Siwarudra, Anantasuksma, dan Prabhawa serta penduduk desa Simpat Bunut agar
melakukan perbaikan serta perluasan (pamasamahyan) pertapaan di Hyang Karimama
itu. Batas-batasnya kemudian ditetapkan. Para bhiksu yang berdiam di sana
walaupun pada prinsipnya wajib tunduk pada aturan yang berlaku, juga tetap
mendapat hak istimewa (previlise), misalnya para bhiksu tidak boleh diwajibkan
ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan dalam
masalah-masalah jual beli, pemungutan pajak, dan pencelupan benang. Dalam
prasasti itu juga ditentukan bahwa pertapaan di Hyang Karimama dibolehkan
memiliki cabang di desa lain, asalkan tidak lebih dari 20 buah (Goris, 1954a :
60-61).
Penguasa tertinggi pada periode Singhamandawa memberikan perhatian sangat
besar terhadap bidang spiritual keagamaan. Hal itu dapat diketahui antara lain
berdasarkan isi kelima prasasti yang telah dibicarakan dan isi prasasti Gobleg,
Pura Desa I yang berangka tahun 836 Saka. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa
bangunan suci di Bukittunggal yang bernama Indrapura, yang berada dalam wilayah
desa Air Tabar, agar diperbaiki dan diperluas sesuai dengan rencana. Raja
menugasi sejumlah tokoh untuk memimpin pelaksanaannya. Prasasti ini juga memuat
aturan pembagian harta warisan dan keringanan dari tugas-tugas tertentu yang
didapat oleh penduduk.
Prasasti Angsri A keadaannya sangat aus. Dari bagian yang terbaca dapat
diketahui antara lain nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang Tanda. Kedua
bangunan suci itu mendapat persembahan bagian harta warisan keluarga yang putus
keturunan (Goris, 1954a : 62).
Berdasarkan hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari
masa Bali Kuno selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan
seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di
antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah
bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surinya.
Urutan pemerintahan mereka secara kronologis dapat dilihat pada lampiran 1
karya tulis ini dan uraian ringkas mengenai masa pemerintahan masing-masing pucuk
pemerintahan itu disajikan sebagai berikut.
Nama raja Bali Kuno yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri
Kesari Warmadewa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat
diidentifikasikan demikian, adalah prasasti Blanjong (835 Saka),dan prasasti
Penempahan,8 dan prasasti Malet Gede (835 Saka)9. Keadaan ketiga prasasti itu
telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termasuk nama raja
yang disebut di dalamnya. Bagian nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti
Blanjong adalah … sri kesari … sedangkan pada sisi B.13 terbaca … sri
kesariwarmma (dewa) (Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti
Penempahan yang masih terbaca adalah … sri ke … dan pada prasasti Malet Gede
berbunyi … sri kaesari … (Kartoatmodjo, 1977 : 150-151 ; cf. Damais, 1959 :
964).
Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari Warmadewa merupakan raja
pertama yang menggunakan unsur warmadewa sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan
kenyataan itu maka dapat dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal
dinasti (vamsakara) Warmadewa di Bali. Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana
akan diketahui, berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad, yakni sejak
awal abad X sampai dengan awal abad XI.
Hal lain yang menarik perhatian ialah ketiga prasasti tersebut pada
hakikatnya menggambarkan kemenangan raja Sri Kesari terhadap musuh-musuhnya.
Sebagai akibat prasasti-prasasti itu telah aus, hanya dua di antara musuh-musuh
itu dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suwal (Goris, 1954a : 65). Perlu ditambahkan
bahwa lokasi Gurun dan Suwal sampai dewasa ini belum diketahui secara pasti. Di
antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa Gurun mungkin sama dengan Lombok
dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa Gurun mungkin identik dengan Nusa
Penida (Goris, 1954b : 243 ; cf. Kartoatmodjo, 1977 : 152).
Raja Sri Kesari Warmadewa diganti oleh Sang Ratu Sri Ugrasena. Raja
Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa
pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa
Timur (Goris, 1948 : 5). Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno,
dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni prasasti-prasasti Banjar Kayang (837
Saka), prasasti Les, Pura Bale Agung (837 Saka), Babahan I (839 Saka), Sembiran
AI(844 Saka), Pengotan AI (846 Saka), Batunya AI (855 Ska), Dausa, Pura Bukit
Indrakila AI (857 Saka), Serai AI (858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI
(864 Saka), prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg, Pura Batur A
(Goris, 1954a : 8-11 ; 63-72).
Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan
penting dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut
ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungan dan
Julah, karena desa itu belum pulih benar dari kerusakan akibat diserang
perampok. Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan dibebaskan dari
kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan
menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan
pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan
besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk (Goris, 1954a : 63-68 ; 70-71).
Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama, Raja Ugrasena memberikan
izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan
dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan
penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte (?) Waisnawa”, serta
kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja.
Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap
sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat
diketahui (Goris, 1954a : 68-72).
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat
dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja
Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10.
Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan
dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar,
jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah pertapaan
yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
Setelah mangkat, diduga Ugrasena dicandikan di Air Madatu dan dikenal
dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu (cf. Goris,
1954b : 211). Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang
ditemukan di desa Kintamani. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa raja Tabanendra,
bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah tokoh agar memugar atau
memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada masa pemerintahan raja
dengan epitet tersebut di atas (Goris, 1954a : 76).
Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah mangkat, maka
tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas menunjukkan betapa hormatnya
mereka kepada Ugrasena. Lebih lanjut, hal itu dapat digunakan sebagai dasar
pendapat yang menyatakan bahwa walaupun Sang Ratu Sri Ugrasena tidak secara eksplisit
menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda pun tergolong anggota dinasti
Warmadewa.
4.
Koleksi
di halaman belakang
a.
Di sini terdapat Balai
Pelindung C,D,E,F,G,H, I. Koleksi yang dipamerkan berupa sarkofagus dan
tempayan yang berasal dari temuan dari seluruh wilayah Bali, dan merupakan
koleksi unggulan Museum Gedong Arca.
Gambar : Sarkopagus
Sarkofagus adalah
peninggalan masa perundagian (megalitik), merupakan peti batu yang berfungsi
sebagai wadah kubur pada masa prasejarah. Orang-orang yang dikubur dalam
sarkofagus kemungkinan memiliki status sosial tinggi seperti kepala suku.
Koleksi yang ada diperkirakan berumur antara 2.000-2.500 tahun. Sarkofagus adalah suatu tempat untuk
menyimpan jenazah. Sarkofagus
umumnya dibuat dari batu. Kata "sarkofaus" berasal dari bahasa Yunani σάρξ (sarx,
"daging") dan φαγεῖνειν (phagein,"memakan"),
dengan demikian sarkofagus bermakna "memakan daging".
Sarkofagus
sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir,
dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri,
sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa
makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus
merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang
dipahat dengan alabaster
Sarkofagus
- kadang-kadang dari logam atau batu kapur – juga digunakan
oleh orang Romawi kuno sampai datangnya agama Kristen yang mengharuskan
mayat untuk dikubur di dalam tanah
b.
Balai pelindung L (di
depan Padmasana): koleksi yang dipamerkan berupa Arca Dwarapala, Lingga, Arca
Ganesha, dan fragmen arca. Koleksi ini merupakan peninggalan yang ditemukan di
lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bali sekitar tahun
1950-an.
c.
Balai patok
Koleksi dari masa sejarah berupa replika Arca Bhatari
Mandul, Arca Nandi, Stupika Candi Pegulingan, Prasasti Blanjong (tahun 839
Caka/917 M), Prasasti Candi Tebing Gunung Kawi (abad XI M), Prasati Sawo Gunung
(Pura Pengukur-ukuran), Candra Sengkala Pura Penataran Blusung, dan beberapa
buah arca yang berasal dari abad XIII Masehi.