ASTADASAPARWA MAHABHARATA
(Wana Parwa )
A. ISI SINGKAT WANA
PARWA
Wanaparwa adalah buku ke-3
Mahababharata dan merupakan terusan langsung buku ke 2; Sabhaparwa. Di dalam
Wanaparwa diceritakan bagaimana para Pandawa dan dewi Dropadi harus hidup di
hutan selama 12 tahun karena Yudistira kalah berjudi.
Cerita ini bermula ketika
Yudhistira kalah bermain judi dengan para Kurawa, kemudian dia kalah dengan
memepertaruhkan kerajaan dan negaranya. Tidak tanggung-tanggung para Kurawa
memberi beban kepada para Pandhawa untuk melakukan masa pembuangan. Di dalam pembuangan
itu para pandhawa melakukan penyamaran. Di dalam masyarakat jawa sendiri ini
biasa disebut dengan istilah “Kodrat Wiradat” yaitu takdir Tuhan tidak
bersifat mutlak. Seseorang mengatakan kegagalan suatu usaha karena alasan
adalah takdir. Boleh jadi kegagalan yang kita peroleh itu karena sifat
sembrono, urakan, ugal-ugalan, dan kelalaian manusia sendiri. Nasib ini lantas
jangan menjadikan kecil hati, bagi mereka yang cukup gigih dan kreatif tentu
akan optimis dalam menghadapi masa depan. Andaikan Yudhistira tidak suka
berjudi dan tidak terpancing dengan emosi sesaatnya mungkin hal ini tidak akan
terjadi. Setelah para Pandhawa pergi meninggalkan istana dmuan menuju hutan
Kamyaka.
Saat di hutan, para
pandhawa bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan agama
hindu kepada pandhawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa maka
Arjuna melakukan tapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang
kelak digunakan dalam perang Bharatayudha. Arjuna memilih lokasi bertapa di
gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin
oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang
diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan,
dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan
para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai
seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa
di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan
untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya,
terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah
mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya.
Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah
dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan
dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia
menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna
terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu
tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut.
Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut
melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena
kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu
menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi
antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku
telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang
menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah
mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka
berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu,
tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma’af
kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah
kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa
memberi anugerah berupa panah sakti bernama “Pasupati”. Karena Arjuna Lila
legawa dapat diterjemahkan dengan rela dan ikhlas. Yakni sikap seseorang yang
lapang dada, terbuka hati, berani kehilangan, dan tidak mau menyesali kerugian
atas dirinya. Bencana, kesulitan dan cobaan dari mana pun datangnya dianggab
seolah-olah tidak pernah terjadi. Dalam tembang Jawa ada pesan lila lamun kelangan
nora gegetun, ‘rela bila kehilangan tidak menyesali, diterima dengan hati
ikhlas’. Kerugian yang terjadi karena orang lain hatinya memaafkan. Kerugian
karena lingkungan, hatinya menganggap sesuatu yang alamiah. Kerugian karena
bencana mendadak, hatinya menganggap sudah menjadi kehendak Tuhan. Orang yang
lila legawa tidak pernah ada beban dalam pikirannya. Sikap inilah yang
dilakukan Arjuna, dia ikhlas dalam melakukan perbuatannya. Jika Arjuna tidak
memiliki sikap seperti ini maka dia tidak akan memiliki senjata yang sangat
kuat seperti panah Pasupati pemberian dewa Siwa yang takjub akan tapa yang
dilakukan Arjuna dan sikap lilanya demi sebuah cita-cita yang mulia.
Suatu ketika para Korawa
datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa.
Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena.
Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira
justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan
berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua
Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan
untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar
biasa yang ia rasakan. Inilah yang dimaksud dengan Becik ketitik, ala ketara.
Duryudana yang tadinya berniat jahat malah kena akibat jahat, sedangkan
pandhawa yang mempunyai sifat baik rela menolong. Sifat seperti inilah yang
mesti ditumbuh kembangkan dikehidupan masyarakat luas.
Pada waktu di hutan pernah
terdapat kejadian Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh
Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata
dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu
tersebut. Sifat pemaaf merupakan sikap asor yang tak bisa lepas dari sifat
pandhawa. Setiap orang tidak aka nada yang sempurna, walaupun para pandhawa ini
kuat dan suka menolong tetapi mereka juga memiliki sikap buruk seperti
Yudhistira yang suka main judi, janaka yang suka bermain judi dan sebagainya.
Peristiwa lainnya, adalah
ketika Droupadi menemukan bunga yang sangat harum dan meminta Bhima untuk
mencarikan bunga tersebut untuk ditanam. Bhima pergi mencari hingga sampailah
ia di kaki suatu gunung dan ia melihat seekor kera besar bersinar-sinar
berbaring tidur menghalangi jalannya. Ia coba mengusirnya dengan
berteriak-teriak agar mahluk itu takut. Mahluk itu hanya membuka sebelah
matanya dengan malasnya dan berkata, ‘aku lagi kurang nyaman makanya aku tidur
disini mengapa engkau membangunkanku, Engkau adalah manusia bijaksana dan aku
hanya binatang, seharusnya manusia yang rasional berbelas kasih pada bnatang
sepertiku. Aku khawatir engkau ini tidak mengindahkan mana kebenaran dan
kejahatan. Siapa kamu? Ngga mungkin engkau melanjutkan perjalanan lebih lanjut
lagi, karena ini merupakan jalan dewa-dewa, manusia tidak boleh melewati batas
ini. Makan saja buah-buah yang ada disini sesukamu dan pergilah dengan damai.
Bhima yang tidak biasa
dianggap enteng menjadi marah dan berteriak,’ engkau ini siapa, engkau ini
hanyalah kera namun sok berbicara tinggi, saya adalah Ksatriya, pahlawan
keturuna Kuru dan anak dari Kunti. Aku adalah anak dari Deva Vayu, Ayo
menyingkir!’. Mendengar ini, kera itu hanya tertawa dan berkata ‘Saya ini hanya
kera, namun engkau akan mengalami kehancuran apabila memaksa jalan terus’. Bima
berkata,’ itu bukan urusanmu, menyingkirlah atau aku singkirkan engkau!’. Kera
itu berkata,’Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, jika engkau bersikeras
untuk terus untuk pergi, lompati saja aku’ Bima berkata,’Ya itu sih mudah,
namun kitab suci melarang itu, kecuali aku melompatimu dan gunung dalam satu
lompatan seperti yang dilakukan Hanuman menyebrangi lautan. Kera itu berkata,’
Siapa Hanuman yang menyebrangi Lautan itu, ceritakanlah cerita itu padaku’.
Bima berkata ‘Belum pernah
dengar Hanuman? Ia adalah kakak ku, yang dengan loncatanya menyebrangi lautan
untuk mencari Sita istri Rama, Aku setara dengannya dalam hal kekuatan dan
Kegagahan. Ah sudah cukup berbicara, ayo menyingkirlah dan memberi jalan,
jangan memprovokasiku untuk menyakitimu. Kera itu berkata,’ Ah orang gagah,
bersabarlah, lembutlah karena engkau kuat, berbelas kasihlah pada yang lemah
dan tua. Aku tak berkekuatan untuk berdiri, karena kitab mu melarang untuk
melompatiku, ya sudah singkirkan saja ekorku ini agar engkau dapat melanjutkan
perjalanan’.
Bangga dengan kekuatannya,
Ia pikir dapat dengan mudahnya menarik ekor Kera itu ke sisi jalan, namun
ternyata hingga ia menggunakan seluruh kekuatannya ekor itu tidak bergerak sama
sekali kemudian dengan malu ia berkata,’Maafkan aku, Apakah engkau adalah orang
sakti, Gandharva atau Dewa?’ Hanuman berkata,’ Oh Pandava, Aku adalah kakakmu
yang engkau sebut tadi, jika engkau melewati jalan yang merupakan jalan menuju
dunia fana dimana Yaksha dan raksasa tinggal, engkau akan menghadapi bahaya dan
itulah sebabnya aku menghalangimu. Tidak ada manusia yang dapat melewati jalan
ini dan tetap hidup, namun di bawah sana ada aliran sungai dimana engkau akan
temukan bunga saugandhika yang engkau cari itu’. Jangan sampai melihat dari
luarnya, dalam istilah jawa terdapat istilah “Bathok Bolu Isi Madu”
jangan melihat sesuatu dari luarnya, tapi perhatikan dan resapi baik-baik apa
yang dapat kita peroleh nantinya bisa jadi yang kita peroleh adalah contoh suri
tauladan yang memberikan kebaikan kepada kita dan orang banyak. Seperti di
dalam kiksah diatas, sang Bima belum mengetahui siapa kera yang besar itu, dia
terlalu cepat marah karena merasa diremehkan, sang Bima juga terlalu mengagungkan
kekuatannya sendiri dan itu malah membuatnya sombong sehingga dia merasa
malu karena kera tersebut lebih kuat dari dirinya. Hanya mengangkat ekornya
saja sang Bima tidak sanggup.
Pada suatu hari menjelang
berakhirnya masa pembuangan 12 tahun, Yudistira dan keempat adiknya membantu
seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada
tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa
merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak
kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul
pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian
berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah
telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia
menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka
menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira
mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi
pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun
ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih
Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri,
bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil.
Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari
Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri,
yaitu Nakula.
Raksasa terkesan pada
keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma.
Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk
memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira,
maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna,
dan Sadewa.
Sifat keadilan merupakan
sifat luhur, yang mana setiap orang belum tentu memiliki sikap seperti ini.
Sikap adil akan menghasilkan kebaikan untuk semuanya, seperti kisah diatas
karena keadilan sang Yudhistira maka diapun bisa melihat saudaranya-saudaranya
kembali hidup. Andaikan Yudhistira tidak memiliki sikap seperti ini bisa
dikatakan Yudhistira tidak akan melihat saudaranya hidup kembali. Kemudian
sikap sabar yang dimiliki Yudhistira juga menghasilkan kebaikan untuk dirinya
dan orang banyak. Walaupun banyak hambatan tetapi tetap sabar, dan bersedia
menerima hal tersebut lila legawa.
Buku Wanaparwa merupakan
dasar inspirasi karya sastra Jawa Kuna; kakawin Arjunawiwaha karangan empu Kanwa.
B.
NILAI YANG TERKANDUNG DALAM WANA PARWA
a.
Ketika Bhatara Indra memberikan senjata sakti kepada
Arjuna, dikarenakan keteguhan Sang Arjuna dalam melakukan tapa brata, dia tidak
tergoyahkan oleh godaan-godaan oleh para bidadari. Nilai yang terkandung adalah
kita harus tetap bersungguh - sungguh dengan pekerjaan yang sedang kita
jalankan,kita tidak boleh berheenti di tengah jalan meski ada hal lain yang
lebih menyenangkan.
b.
Ketika Sang Bima bertemu dengan hanuman yang ketika itu
beliau menyamar sebagai kera Tua yang lemah, namun bima yang gagah tidak mampu
mengangkat ekor dari kera tersebut yang kemudian beliau menunjukan wujud
aslinya. Nilai yang dapat kita petik
adalah kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja,
kita juga harus mempertimbangkan tutur katanya, dari bahasa yang disampaikan,
pemikiran yang diungkapkan.
c.
Karena keadilan sang Yudhistira, membut Dewa Dharma kabun
akan hal tersebut, ketika semua saudaranya terbunuh karena keracunan air sungai
dan atas pertanyaan yang mampu dijawab oleh yudhistira maka yudhistira diberi
kesempatan untuk menghidupkan satu dari keempat saudaranya dan yang dipilih
adalah nakula.Hal tersebut merupakan bukti keadilan dari yudhistira.
Nilainya adalah
ketika kita mengambil sebuh keputusan ada baiknya kita mempertimbangkannya atas
asas keadilan demi tercapai tujuan yang lebih baik.
thanks to :http://mgmplampung.blogspot.com/2014_09_01_archive.html